Semua Cagub Jatim “Perempuan”: Benarkah Diskriminasi Gender Telah Berakhir?

Semua Cagub Jatim “Perempuan”: Benarkah Diskriminasi Gender Telah Berakhir?
Ilustrasi Semua Cagub Jatim “Perempuan”: Benarkah Diskriminasi Gender Telah Berakhir? (Sumber Grafis/Agitasi.id)

Oleh: Erisha Najwa H.

Agitasi.id- Pada Pilkada 2024, muncul fenomena yang menarik perhatian publik, khususnya di Jawa Timur, seluruh kandidat calon gubernur adalah perempuan. Hal ini memicu diskusi hangat tentang bagaimana kontestasi politik yang didominasi oleh perempuan dapat mempengaruhi perspektif gender dalam politik Indonesia. Apakah ini menunjukkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan telah berakhir? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk melihat konteks sosial, politik, dan budaya yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam politik, serta bagaimana fenomena ini dapat diinterpretasikan dari perspektif gender.

Bacaan Lainnya

Perempuan dan Politik di Indonesia: Sejarah dan Perkembangan

Keterlibatan perempuan dalam politik Indonesia mengalami pasang surut. Sejak masa kemerdekaan, perempuan telah berperan penting, namun peran mereka sering kali dibatasi oleh norma-norma patriarki. Reformasi 1998 membuka peluang lebih luas bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, yang terlihat dengan peningkatan jumlah perempuan yang terlibat dalam legislatif maupun eksekutif. Penerapan kebijakan afirmatif seperti kuota 30% bagi perempuan dalam partai politik adalah salah satu langkah nyata yang mendukung keterwakilan perempuan.

Namun, meskipun ada peningkatan jumlah, kehadiran perempuan di ranah politik masih sering dianggap sebagai bentuk tokenisme. Artinya, perempuan hanya dilibatkan sebagai bentuk simbolis tanpa diberikan peran strategis. Dalam konteks ini, munculnya kandidat perempuan di Pilkada Jawa Timur dapat dianggap sebagai pergeseran dari keterwakilan simbolis menuju keterlibatan yang lebih substantif.

Kandidat Perempuan: Penguatan atau Pelemahan Stereotip?

Fenomena kontestasi politik yang seluruhnya diisi oleh kandidat perempuan dapat memberikan dua implikasi. Di satu sisi, ini dapat dilihat sebagai bukti bahwa perempuan mampu bersaing dalam arena politik yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kapasitas yang setara dengan laki-laki untuk memimpin, dan mereka dipilih bukan semata-mata karena gender mereka, tetapi karena kompetensi, visi, dan komitmen politik mereka.

Namun, di sisi lain, keberadaan kandidat perempuan tidak serta-merta menghilangkan diskriminasi berbasis gender. Ada kemungkinan bahwa masyarakat masih memandang kandidat perempuan dengan standar ganda. Misalnya, isu-isu yang terkait dengan penampilan fisik, kehidupan pribadi, atau kemampuan untuk memimpin sering kali menjadi fokus yang lebih tajam bagi perempuan daripada laki-laki. Dalam konteks Pilkada Jawa Timur, ada tantangan bagi para kandidat perempuan untuk tidak hanya menunjukkan kemampuan kepemimpinan mereka, tetapi juga melawan stereotip yang masih melekat.

Dengan kehadiran kandidat perempuan dalam Pilkada, apakah ini berarti diskriminasi terhadap perempuan sudah hilang? Jawabannya tidak sesederhana itu. Memang, keterlibatan perempuan dalam politik merupakan kemajuan signifikan dalam hal kesetaraan gender. Namun, diskriminasi terhadap perempuan masih ada dalam berbagai bentuk, baik secara eksplisit maupun implisit. Perempuan masih menghadapi tantangan struktural dan kultural, termasuk dalam hal akses terhadap sumber daya politik, pembagian peran domestik, serta penghakiman publik yang lebih ketat terhadap mereka.

Meskipun banyak kandidat perempuan yang berhasil memasuki kontestasi politik, mereka mungkin tetap harus bekerja lebih keras untuk diakui dan dihormati setara dengan kandidat laki-laki. Diskriminasi dalam politik mungkin tidak lagi terlihat sejelas sebelumnya, tetapi bisa muncul dalam bentuk yang lebih halus, seperti anggapan bahwa kepemimpinan perempuan lebih lemah atau lebih emosional.

Ketiga kandidat Pilgub Jawa Timur sama-sama memiliki pengalaman yang panjang dalam sistem kepemimpinan. Khofifah Indar Parawansa pernah menjabat sebagai Menteri sosial dan Gubernur Jawa Timur petahana. Disisi lain Tri Rismaharani juga pernah menjabat sebagai walikota Surabaya dan Menteri Sosial, sedangkan Luluk Nur Hamidah Politikus PKB dan terpilih menjadi anggota DPR RI. Sebagai perempuan yang memiliki peran ganda, tentu menjadi pekerjaan yang lebih ekstra untuk memimpin Jawa Timur lebih baik kedepan dengan mengesampingkan perasaan-perasaan perempuan agar tidak dibawah ke ranah politik kepentingan.

Urgensi Perspektif Gender, Memandang Pilgub Jawa Timur

Fenomena politik perempuan di Jawa Timur menunjukkan pentingnya tetap mempertahankan aras perspektif gender dalam analisis politik. Partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya tentang peningkatan jumlah, tetapi juga tentang langkah strategis perempuan mampu berkontribusi secara substantif dalam pengambilan keputusan yang adil dan inklusif. Dengan adanya kandidat perempuan, harapannya adalah bahwa isu-isu yang sering kali diabaikan, seperti kesehatan reproduksi, kesejahteraan anak, kekerasan terhadap perempuan, dan hak-hak ekonomi perempuan, dapat menjadi prioritas dalam agenda politik.

Kontestasi politik perempuan dalam Pilkada Jawa Timur adalah langkah positif sebagai upaya menuju kesetaraan gender. Namun, ini tidak berarti bahwa diskriminasi terhadap perempuan telah sepenuhnya hilang. Keterlibatan perempuan dalam politik harus dilihat sebagai bagian dari proses panjang menuju transformasi sosial yang lebih adil. Tantangan masih ada, baik dari segi stereotip maupun hambatan struktural yang dihadapi perempuan. Oleh karena itu, partisipasi perempuan dalam politik harus terus didukung, tidak hanya dari segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas peran dan pengaruh mereka dalam pengambilan kebijakan.

Peran perempuan dalam politik sebenarnya dapat menjadi pintu arus perjuangan keadilan. Hanya saja, jika tidak dibarengi dengan kebijakan-kebijakan praksis dalam sektor-sektor kehidupan sosial yang lebih konkret, tak mungkin keadilan gender dapat tercapai. Partisipasi politik hanya sepersekian kecil dari indikator terciptanya masyarakat berkeadilan gender. Ada perspektif atau sisi yang melihat lemahnya tiga perempuan hebat di Pilgub Jatim sebagai simbol keadilan bagi perempuan.

Salah satunya, jika dilihat dari indikator kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Jawa timur masih masuk menjadi 3 provinsi dengan tingkat korban kekerasan perempuan terbanyak se Indonesia. Dalam laporan Kemenpppa, hingga tulisan ini dimuat, dari 1.574 kekerasan yang terjadi, sebanyak 1.358 orang korbannya adalah perempuan. Jika dipersentase, ada 86,3% kekerasan terjadi menyasar perempuan. Tentu, fenomena ini dapat menjadi anti tesa, jika ada anggapan majunya 3 perempuan hebat di Pilgub, sebagai selesainya perjuangan gender di Jawa Timur.

Walaupun demikian, perempuan yang terlibat dalam kontestasi politik, seperti di Jawa Timur, memiliki potensi besar untuk mengubah wajah politik Indonesia. Namun, perlu dipertegas kembali, bahwa masih diperlukan upaya yang konsisten untuk menciptakan lingkungan politik yang benar-benar inklusif dan bebas dari diskriminasi gender. Targetnya, kesetaraan dapat tercapai tidak hanya dalam tataran simbolis politik, tetapi juga dalam realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.

Baca Juga :  Badko HMI Jatim Tantang Srikandi Cagub Perangi Human Trafficking

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *