AGITASI.ID – Perempuan adalah ruh penentu peradaban, moralitas perempuan dalam suatu kebudayaan adalah penentuan kualitas peradaban. Bicara tentang perempuan, haruslah menempatkan perempuan sebagai manusia bukan sebagai budak. Tentunya bertumpu pada nalar kemanusiaan itu sendiri.
Dengan bertumpu pada nalar kemanusiaan kita akan menilai bahwa sesungguhnya antara laki-laki dan perempuan itu pada dasarnya sama. Mempunyai kecerdasan otak, cita-cita luhur dan kewajiban untuk mengenyam pendidikan serta mempunyai tujuan dan harapan yang sama.
Perempuan, dengan keanggunannya yang tak terbantahkan adalah pilar keberlanjutan kemanusiaan. Mereka adalah pencipta, pelindung, dan pemelihara kehidupan.
Di sepanjang sejarah, perempuan telah menjadi pahlawan yang tak terungkapkan dalam masyarakat. Meskipun, sering kali terabaikan dan tak pernah di anggap keberadaannya, serta tidak mempunyai posisi yang setara dengan laki-laki.
Dalam banyak budaya, perempuan telah dipersepsikan sebagai simbol kelemahan dan ketergantungan pada laki-laki, tidak bisa bergerak secara bebas. Karena dalam budaya masyarakat perempuan tidak boleh melebihi laki-laki dalam segi apapun. Kodrat perempuan tetap berada di dapur, sumur dan kasur.
Namun, itu adalah pandangan yang terbatas. Perempuan memiliki kekuatan yang tak terbatas, baik secara fisik maupun emosional. Mereka mampu menghadapi tantangan yang luar biasa dan tetap teguh dalam menjaga keutuhan keluarga dan masyarakat.
Perempuan harus mempunyai tiga kecerdasan yakni kecerdasan emosional, spiritual, dan intelektual. Dimana perempuan di tuntut untuk mengontrol emosionalnya, lebih-lebih ketika ia menjadi seorang ibu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Mengutip perkataan Rocky Gerung, bahwa menurut keterangan ilmiah memperlihatkan kecerdasan anak diperoleh dari seorang ibu. Ketika ayahmu cerdas itu bukan dari kakekmu yang cerdas tapi dari nenekmu, kenapa demikian? Karena evolusi menuntut supaya peradaban tidak punah. Oleh sebab itu, harus ada bayi yang dilahirkan dari seseorang yang cerdas yaitu perempuan.
Keberadaan perempuan dalam setiap aspek kehidupan adalah penting untuk memastikan keseimbangan dan kedamaian. Mereka membawa perspektif yang unik dan berharga dalam pengambilan keputusan, menciptakan lingkungan yang inklusif dan berkelanjutan.
Perjalanan perempuan menuju kesetaraan masih jauh dari kata selesai. Karena Diskriminasi gender, kekerasan, dan ketidaksetaraan akses terus menjadi hambatan besar. Sampai-sampai di masyarakat ada pandangan bahwa budaya yang menempatkan posisi perempuan hanya sebagai pengikut laki-laki.
Sosok pemimpin atau kepala keluarga di mana laki-laki dan perempuan sebagai pemimpin dan yang dipimpin, pelindung dan dilindungi, menempatkan perempuan pada posisi ketidaksetaraan.
Menurut Debbie Affianty, M.Si., Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. Beliau menjelaskan sempitnya akses bagi perempuan untuk mengaktualisasikan diri di berbagai bidang, selain disebabkan oleh budaya patriarki, juga didorong oleh sistem dan kebijakan formal struktural dan kurangnya rasa percaya diri dalam diri perempuan.
“Semua perempuan perlu membebaskan diri dari belenggu-belenggu dan larangan-larangan yang tidak masuk akal, misalnya tentang perempuan tempatnya hanya di rumah. Laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan akses yang sama dalam hal pendidikan, layanan-layanan dasar, hidup nyaman dan mengaktualisasikan diri dalam bentuk karya, pengakuan dari publik,” ungkap Debbie.
Kebijakan struktural yang berlaku di negara ini secara tidak langsung mengawetkan budaya patriarki, sebab dalam tataran pengambilan keputusan masih didominasi oleh laki-laki. Emansipasi yang menjadi inti gagasan R.A Kartini akan sulit direalisasikan jika perempuan masih terbatas pada produk kebijakan budaya patriarki.
Banyak studi yang mengindikasikan perempuan mempunyai keahlian dalam berperilaku dan kualitas yang memenuhi syarat dalam kepemimpinan. Akan tetapi, perempuan masih belum dapat mewakili dalam kapasitas signifikan.
Hal demikian, disebabkan oleh banyaknya rintangan yang menghambat kemajuan kepemimpinan perempuan seperti rintangan secara kelompok maupun perorangan. Sehingga ketika seorang perempuan mempunyai cita-cita akan kesuksesan, ia menganggap bahwa dirinya tidak pantas.
Sebagaimana mengutip perkataan Najwa Shihab, perempuan kerap kali menganggap rendah dirinya sendiri. Perempuan yang sukses dianggap ambisius, sedangkan pria sukses dianggap sangat hebat. Dari hal tersebut, perempuan cenderung tidak bisa menunjukkan kemampuannya.
Padahal, masa depan dunia yang adil dan sejahtera bergantung pada pengakuan dan pemberdayaan perempuan. Melalui pendidikan, kesetaraan hak dan dukungan komunitas, kita dapat memastikan bahwa perempuan dapat mewujudkan potensi mereka sepenuhnya dan menjadi agen perubahan yang kuat dalam masyarakat dan negara.
Dengan menghormati, mendukung, dan memperjuangkan perempuan, kita tidak hanya memperkaya kehidupan individu, tetapi juga membangun fondasi lebih kokoh untuk masa depan yang lebih baik.
“Perempuan dan pengaruhnya tidak akan surut hanya karena mitos keterbatasan”.
Penulis : Asri Lailatus Sa’adah