AGITASI.ID – Di awal tahun 2024 ini masyarakat dibuat pusing lantaran lelah menjadi fans Timnas Indonesia dengan berbagai indikator, seperti lelah dengan hasil pertandingan, bacotan netizen sipaling coach, star syndrome pemain, dan terakhir lelah dengan gimmick para pejabat. Ah, tapi sudah tidak ada bola, ya kali mau bahas yang sudah-sudah.
Artinya, huru-hara tidak lagi tentang bola, ada yang lebih memusingkan dibanding fans Timnas. Semisal, jadi orang miskin bin goblok di musim Pemilu 2024 ternyata lebih melelahkan. Setiap hari kita disuguhi opini-opini buzzer yang saling menghujat sampai Pemilu selesai.
Belum lagi adanya wacana putaran kedua. Dilanjut pihak yang kalah tidak terima dengan menggunakan narasi kecurangan, begitu saja sampai nanti klimaksnya di Oktober ada pelantikan Presiden baru.
Menyiapkan Mental Pasca Timnas Kalah dari Australia
Perjalanan menuju pelaksanaan Pemilu 2024 dari sebelum dan sesudah kekalahan Timnas Indonesia melawan Australia, situasi politik memang sudah tidak stabil. Ada banyak huru-hara, perjanjian lawas yang kembali muncul, breakdown paslon satu persatu, dan pastinya manuver serta lobi-lobi politik.
Setelah itu, baru sadar dengan berisiknya bung Towel lebih asyik dibanding buzzer dari kalangan kaum elite. Ya, anggap saja kekalahan Timnas ini sebagai iklan ditengah dramatisasi Pemilu 2024.
Rakyat miskin seperti kita, yang parkir motor masih di ruang tamu, selalu sibuk di hari senin, dan masih antri pertalite di pom bensin, pasti momen bagi-bagi sembako dan fulus sudah jadi penantian panjang. Saran saja, kalau ada caleg memberi uang lima ratus ribu, jangan diambil uangnya dan jangan dicoblos orangnya. Masih calon sudah berani ngasih uang sedikit, tambahin lah, minimal ke rumah, tawarin kursi jabatan. Ups!. Yang bener aja, rugi dong!.
Hingga kini kenapa jadi rakyat goblok di musim Pemilu itu melelahkan. Karena hanya rakyat goblok yang mudah termakan oleh opini-opini buzzer. Tidak sedikit, bahkan yang awalnya tidak goblok dan tidak pintar alias goblok telah menjadi korban sasaran buzzer secara tidak sadar.
Siapa Capres yang Bakal Menang ?
Duh, hampir seperti peramal saja memprediksi pemenangan capres. Tetapi kalau dipikir-pikir, siapa pemimpin yang pantas menjadi Presiden di tahun 2024?. Tentu dia yang peduli dengan masa depan ; globalisasi, teknologi, digitalisasi AI, dan Machine Learning. Dan tidak lupa dengan masa lalu juga masa sekarang ; kesejahteraan masyarakat, hak asasi manusia, dan pendidikan.
Pertanyaannya, mereka (yang peduli masa depan dan tidak meninggalkan masa lalu) tidak mungkin bisa menang jadi Presiden kalau tidak mendapatkan vote. Lalu, sebenarnya ini lagi perang pemimpin yang bagus dan pantas, atau pemimpin yang bisa dapat vote terbanyak? Hellow.
Jika kita breakdown sebentar dari Pak Prabowo, Pak Anies dan Pak Ganjar, kebijakan-kebijakan yang mereka tawarkan dan janji mereka yang selalu diagung-agungkan sebenarnya masih banyak pro dan kontranya.
Pertama, janji makan siang dan susu gratis. Ayolah pak, kalau mikirin masalah SDM dan IQ rendah, cukup tingkatkan saja nominal beasiswa dan beri kontrol ketat dalam pemanfaatan dan pemerataan beasiswa, agar tidak salah sasaran. Masalah makan siang dan susu gratis, penerima beasiswa mampu beli sendiri, lagi-lagi negara dapat uangnya dari mana pak? Dari goyang gemoy ? Eh, keceplosan.
Kedua, gaji guru jadi dua digit. Masih make sense janji pertama, dan lebih percaya kalau Mbappe asal Lumajang kalau ini mah. Bayangkan saja, jika 3,36 juta guru digaji 30 juta, itu artinya negara harus menyediakan uang sebesar 1200-1500 T, 40-50% APBN, duit dari mana? Ngutang lagi ? Atau ekspor film bokep ?.
Ketiga, dana desa naik 5 M, kompensasi 6 juta untuk wanita hamil, listrik dan BBM semurah-murahnya. Semurah harga dirimu. Dahlah terlalu banyak kalau ini mah. Slepeww eh slepetttt.
Untuk memenangkan Australia, Timnas Indonesia perlu mencetak gol, banyak berlatih, pengalaman dan berdoa. Sesimpel itu (meskipun nggak menang-menang), beda urusan dengan Pemilu. Untuk menang dan terpilih menjadi sebagai Presiden, mereka perlu memenangkan vote.
Dimana Indonesia memiliki kurang lebih 113 jt jiwa, yang kebetulan (tidak sengaja betul) kali ini didominasi oleh kaum millenial dan Gen-Z. Sekitar 56% voter terbanyak diduduki oleh anak muda. Kemudian muncul mindset bahwa untuk memenangkan pemilu, capres harus mampu menguasai setidaknya dua sisi yaitu : pikiran dan hati masyarakat.
Namun kenyataannya, kampanye untuk memenangkan pikiran dan hati masyarakat ada buriknya juga. Tidak perlu jauh-jauh, cukup amati sesuatu terdekat disekitar kita seperti : TikTok, Facebook, Twitter (X), Instagram, dll.
Banyak sekali opini sifatnya menjatuhkan atau memicu kemarahan. Bahkan tim pemenangan berusaha membayar buzzer secara terang-terangan untuk menggiring opini dan emosional.
Akhirnya, yang pacaran putus karena berbeda pendapat, keluarga terpecah karena termakan opini, bahkan sampai menimbulkan pertengkaran dan saling mengancam.
Dari sini sudah jelas, bahwa capres hanya mampu memenangkan hati masyarakat alias emosial yang setidaknya terbagi menjadi lima : kebencian, kemarahan, ketakutan, kebahagiaan dan kecintaan. Nah, memenangkan pikiran masyarakat dengan notabene ber-IQ rendah, tentu tidak mudah. Itulah alasan mengapa kampanye di Pemilu kali ini sangat ramai dipenuhi oleh pertengkaran.
Pikiran itu berdasarkan fakta dan objektifitas kita. So, kalau kita baca semua visi dan misi dari masing-masing capres mulai dari kebijakan, janji, track recordnya, dan analisa pro-kontra. Kemudian kita bisa membuat keputusan secara objektif, “oh ini pemimpin B paling bagus,” tanpa terpengaruh oleh buzzer bayaran, itu baru memenangkan pikiran. Memang tidak semudah itu ferguso!.
Jadi kembali lagi, siapa capres yang bakal menang di tahun 2024?. Benar, capres yang menang adalah dia yang bisa memancing emosional masyarakat. Melalui apa? Benar lagi, konten dan banjirnya kampanye digital.
Sisi Gelap Kampanye Pemilu 2024
Kalau dulu meskipun kita (Millenial dan Gen-Z) belum lahir, kampanye sewajarnya berbentuk turun ke masyarakat. Ngobrol di rumah salah satu warga, harus kampanye darat besar-besaran untuk menyampaikan gagasan, dan berpidato keren ala-ala Soekarno.
Berbeda, di era perfloweran (perkembangan) zaman ini, dimana digital sudah menjadi senjata. Tinggal edit dan klik 10 juta orang melihat konten alias kampanye digital tersebut. Sounds crazi dan ini lebih menyeramkan dari film “Siksa Neraka”, kenapa ?.
Karena dari banyaknya kampanye digital, hampir membuat KOMINFO kewalahan untuk memberantas hoax. Tidak main-main, sirkulasi uang sebesar Rp 100 Triliun tersebar untuk biaya Pemilu. Untuk apa?.
Apalagi kalau bukan untuk menyebarkan informasi. Nah, inilah sisi gelap kampanye Pemilu 2024 yang tidak bisa dikontrol, kita tidak tahu mana yang dibayar dan mana yang tidak. Susah juga cari tahu mana yang benar dan salah. Oleh karena itu, gunakanlah sebijak mungkin pikiran dan hak suara kalian sebelum mencoblos wajah capres !.