Oleh : Mashur Imam
(Penanggung jawab Komunitas Kajian Dar Al-Falasifah)
“Tidak semua yang demokratis, itu baik. Begitu pun monarki, tidak semuanya jelek. Yang pasti jelek itu, yang tidak bijaksana. Tapi bagaimana menggapai kebijaksanaan tanpa susah dan kalah”
Agitasi.id – Begitulah ungkap seorang sahabat lama, yang hingga sekarang aktif di organisasi sosial bahkan telah “melang-lang buaya” dalam dunia politik. Aku masih ingat dulu, saat dia orasi di depan rektorat. Rendah-tinggi suaranya terukur dengan diksi-diksi perlawanan yang memesona seluruh demonstran. Semua orang yang mendengar saat itu, terkesima dan serta merta, amarahnya membara untuk bersatu melakukan perlawanan pada monarki pimpinan kampus kala itu.
Aku pun tentu demikian, terperdaya pada diksi-diksi hebatnya. Suaranya menghipnotis seperti Soekarno yang mampu menyulam mental penakut menjadi pemberani. Semua orang yang mendengarkan akan bergerak. Yang kanan akan jadi kiri, apalagi hanya tengah-tengah.
Ia macan demonstran. Gagasan kelas rektor apalagi sekelas dekanat, ia mangsa secara mudah. Baginya, rektor dan dekanat, kurang baca buku karena sibuk menjabat. Atau, mereka kurang berjuang karena telah sibuk mendiskriminasi. Asyik benar, kalau ingat jaman itu. Darinya aku belajar pikiran kiri.
Setelah lama tidak jumpa, gaya rambutnya tampak lebih fungsional dibanding dulu. Ia dulu berambut gondorong, sekarang tidak. Model rambutnya kayak Jokowi, perutnya lebih mirip Prabowo. Saat bertemu, ia memakai kaos yang bagian bawahnya, dimasukkan ke dalam celana. Persis, DPRD yang baru masuk kantor Dewan.
Sabuk yang dipakai, jelas terlihat. Mereknya, Louis Vuitton. Setahuku, itu merek produk terbaik revolusi industri Prancis buatan pabrik yang didirikan oleh Michael Burke. Salah satu hasil nyata arus kapitalisme Eropa. Itu seingatku, dulu saat mengkaji industri revolusi Prancis, yang membahas merek sabuk itu adalah dirinya. Kalau tidak salah, saat ia menjadi pemateri Ekopol pada kegiatan rutin organisasi ekstra.
Dengan nada bercanda, ku buka obrolan dengan pertanyaan basa-basi. “Sudah tidak kiri lagi ta?, Sabukmu itu mahal”. Sapaku, sebelum dia duduk semaja di warung kopi lama, tempat dulu kita bertemu dan berdiskusi tentang kebobrokan negara.
Ia melihatku dengan mata yang merendahkan. “Kenapa? Kamu iri iya, kamu masih pakai sarung. Kasian kamu, konsistensi dalam takdir suram?, tanyanya nyinyir. Tentu aku tersenyum mendengarnya. Teman demonstranku ini benar-benar telah menguasai ilmu menjadi konglomerat sejati. Bukan hanya pakaian yang berubah. Ternyata, kata dan pikirannya sudah benar-benar tak kiri lagi.
“Tidak usah begitu, aku begini karena kamu. Kamu dulu yang mengkritikku dengan tajam. Katamu, kita ini mahasiswa Islam. Kalau pun kiri baik, tidak perlu fundamental meyakininya. Walaupun Marx baik analisisnya, namun tidak tentu benar dalam kesimpulannya. Kiri baik, asal basisnya bukan iri. Segala riski telah ditentukan oleh Tuhan, tak usah jadi sekat untuk memanusiakan manusia. Kamu ingat ucapanmu bro, itu menyakitkan pikiranku”, Ujarnya lugas layaknya intonasi Harjunot Ali dalam film, tenggalamnya Kapal Van der Wijck.
Matanya melihat dengan tajam, seolah membangunkan ide-ide dalam kenangan lamaku bersamanya. Aku tentu masih ingat, perdebatanku dengan dirinya dulu. Benar, sejak mahasiswa bahkan hingga saat ini, aku tidak suka pada pikiran fundamental. Mau kiri atau kanan, fundamental itu haram hukumnya. Apalagi menjadi sikap dan tindakan, bagiku sangat menjijikkan sebab dipenuhi penyakit dendam dan iri.
Apa bedanya orang kiri dan kanan? Apa bedanya marxist fundamental dan kelompok fundamental agama? Semuanya, bagiku adalah sektarian dan cenderung mengarahkan pada pertikaian. Ujung-ujungnya, hanya dijadikan alat untuk bergantian melakukan diskriminasi.
“Aku butuh bantuan saat ini bro”, perkataannya membangun refleksi pikiran lamaku. “Apa ya?”, kataku dengan penasaran.
Ia menceritakan bahwa sebagai politisi, sejak awal dirinya bergabung dengan kelompok pemenangan salah satu calon presiden. Sosok yang dianggapnya sangat merakyat. Alhamdulilah, dia menang. Menurutnya, kemenangan calon yang dibelanya adalah pintu tegaknya demokrasi negara. Ternyata, ia salah. Selama mendampingi presiden, ia melihat tindakan diskriminasi yang berkedok demokrasi.
“Kadang, atas nama kesejahteraan rakyat, kebijakan selalu diambil tanpa memperhatikan prosedur dan asas-asas demokrasi. Malah ada yang atas nama hukum, sering sangat otoriter. Sekarang, dalam pemilu ini, aku diajak kembali untuk memenangkan, kali ini putranya yang maju. Aku dipasrahi memegang program survei partai pengusungnya. Aku binggung bro. Aku merasa gagal masuk gelanggang politik”, ceritanya dengan nada penuh masalah sambil mengeluarkan berkas-berkas survei dan melemparkannya ke depanku.
Aku melihat berkas itu. Ternyata, banyak nama adik-adik angkatannya yang selama ini ikut dengan dia. Sepertinya, masalahnya tidak sepele. Aktivis sekeren dia tidak akan segamang itu, jika masalahnya tidak benar-benar besar.
Kemungkinan, ia ingin ganti keberpihakan politik, namun takut kalah. Ia sadar kalau kalah, adik-adik yang ikut dengannya, pasti hidup susah. “Kamu ingin bijaksana dalam mendukung calon atau takut kalah?”, tanyaku pelan.
“Tidak semua yang demokratis, itu baik. Begitu pun monarki, tidak semuanya jelek. Yang pasti jelek itu, yang tidak bijaksana. Tapi bagaimana menggapai kebijaksanaan tanpa susah dan kalah”, ujarnya serius.
Benar dugaanku. Di otaknya, sudah bukan pertikaian kiri dan kanan lagi. Namun soal cara terbaik untuk bijaksana dalam kondisi politik yang mencekam. Bagiku, ini nalar luar biasa. Benar memang, hal mendesak dari politik bukan lagi tentang kemenangan kelompok. Kemenangan yang sesungguhnya adalah saat memilih kebaikan tanpa hidup susah dan kalah.
Pikiran sahabat lamaku ini, tampak lebih bijak dibanding isi kepalaku yang hanya bertemu buku dan kopi. Aku malu mendengar perkataannya. Ia seolah mengajariku bahwa, politik bukan semata-mata tentang kekuasaan dan sistem negara. Lebih dalam dari itu, politik adalah ujian terberat bagi orang-orang yang ingin bijaksana.