AGITASI.ID – Perjalanan lembaga antirasuah dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia masih belum berakhir. Itu pertanda bahwa upaya yang telah dilakukan sejalan dengan amanat Undang-Undangnya. Tetapi, siapa tidak tertegun, ketika tiba-tiba melihat pemandu jalan lembaga antirasuah dipanggil oleh Polda Metro Jaya.
Lebih tepatnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan lembaga antirasuah itu ditetapkan menjadi tersangka, atas kasus pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian.
KPK sebagai lembaga yang bersusah payah menjaga integritas dan independen. Namun, kini telah dirusak sendiri oleh oknum internal lembaganya.
Sangat disayangkan, sebuah pilar negara hukum runtuh tidak seperti sewajarnya. Tentu, konsekuensi logis yang diterima pasti keberlanjutan nasib marwah lembaga ke depan.
Meski tantangan mengembalikan marwah jelas butuh proses tidak sebentar. Jika diamati ada aspek-aspek yang menyebabkan nasib marwah KPK bukan hanya merosot, melainkan sudah masuk dalam kategori rusak.
KRISIS INTEGRITAS
Alih-alih mengembalikan marwah. Padahal, jika melihat kilas balik kasus yang menyeret Ketua KPK ternyata tidak hanya sekarang. Sebelumnya, KPK lebih dulu tertimpa nasib marwah lembaga saat Ketua KPK periode 2007-2011 terkait kasus pembunuhan berencana Direktur Utama PT. Rajawali Putra Banjaran.
Anehnya, kasus melibatkan Ketua KPK lanjut diwarisi ketika periode 2011-2015 dalam kasus dugaan pemalsuan dokumen, diantaranya : Kartu Keluarga, KTP, dan Paspor.
Masih belum lupa dan pastinya ingat. Dekadensi marwah lembaga KPK tidak selesai sampai disitu. Kejadian sejumlah 51 dari 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan dinyatakan dipecat.
Meski tersisa 24 lainnya masih bisa menjadi ASN asalkan mau dibina. Motif kejadian semacam ini bukan tambah memperkuat marwah KPK. Tetapi justru KPK sendiri yang memperlemah.
Pegawai KPK yang memiliki integritas tinggi terpaksa lengser secara otomatis. Hal demikian, memperlihatkan integritas sudah menjadi semakin tidak penting.
Padahal integritas merupakan modal utama dalam suatu lembaga antirasuah. Belum lagi KPK tak kurang-kurangnya dilemahkan oleh berbagai pihak. Termasuk independen KPK yang rela ditukar dengan revisi undang-undangnya.
Entah apalagi yang bisa diupayakan untuk menolong nasib marwah lembaga, jika KPK sudah tidak punya taring dihadapan publik.
Sementara untuk menangani korupsi di Indonesia masih begitu banyak. KPK dituntut bersih dari intervensi transaksi kepentingan. Perjuangan tetap mempertahankan marwah lembaga independen, kiranya butuh sumber daya manusia dengan integritas moral yang tinggi.
Sebab, KPK hingga kini sepanjang perjalanan menangani korupsi, nasib marwah lembaga ini selalu jatuh bangun. Sesekali bangkit, tapi tiba ditengah perjalanan malah tersandung kasus.
Memang tugas menangani korupsi tidak mudah. Sehingga semakin sulit jika pelakunya juga pegawai yang menangani kasus. Seakan-akan agak sulit membedakan antara pemberantas dengan pelaku korupsi. Dari krisis integritas ini menunjukkan cukup melenceng jauh dari tujuan awal dibentuknya KPK.
LUNTURNYA WIBAWA PIMPINAN
Dampak dari tersangkanya Pimpinan KPK yang terjerat kasus. Nasib Marwah KPK sampai tak bisa tertolong. Permasalahan itu berlarut panjang hingga mengakar pada 93 Pegawai KPK yang diduga terlibat pungli pada sektor rumah tahanan (rutan).
Indonesia Corruption Watch atau ICW menilai rutan adalah tempat yang sangat rawan korupsi karena para tahanan dapat berinteraksi langsung dengan pegawai KPK (Kompas.id, 14/01/2024).
Nasib Marwah lembaga tidak menutup kemungkinan sangat bergantung pada pimpinannya. Apalagi kewibawaan seorang pimpinan sangat berpengaruh. Sepantasnya memberikan contoh pada bawahannya.
Namun, hal tersebut luntur karena perilakunya sendiri. Meski dengan tidak mengesampingkan pasti ada faktor lain seperti, kurangnya pengawasan dari internal lembaga dan reformasi pegawai KPK.
PIMPINAN MORAL
Sekarang siapa lagi yang bisa diandalkan dan menguatkan lembaga antirasuah tersebut. Serta bisa menjamin kepercayaan publik bahwa korupsi mau tidak mau harus diberantas. Tetapi, apakah harapan tersebut bisa terwujud ?.
Seharusnya bisa terwujud. Meski, payung hukum atas revisi undang-undang KPK telah cacat secara teoritik pembagian kekuasaan.
Meletakkan KPK pada cabang kekuasaan eksekutif problematik dalam ranah konseptual dan kelembagaan negara. Namun, pengaturan lebih lanjut dalam pasal-pasal UU 19 Tahun 2019, jauh lebih menggerus independensi KPK. Pengaturan tersebut membuka peluang intervensi terutama dari pemimpin eksekutif, dalam hal ini adalah Presiden (Mochtar, 2021).
Dengan demikian, perlu titik terang tawaran solusi agar marwah KPK ini tegak kembali. Walaupun pimpinan KPK ditunjuk atas rekomendasi Presiden. Tetapi terlepas dari itu, lebih pentingnya lagi, yakni sosok pimpinan KPK sendiri yang mempunyai moral tinggi.
Karena jika hanya didasarkan pada background profesi sebelumnya, juga belum tentu menjamin KPK bakalan tertimpa nasib yang sama. Bahkan, kalau pun perlu pimpinan yang tidak ada keterkaitan relasi dengan partai politik.