Penulis : Nur Kholis Majid
agitasi.id – Kita pasti kenal yang namanya demokrasi, demokrasi sering kita dengar ketika hendak ada sebuah pemilihan baik dari pemilihan ketua osis, ketua RT bahkan pemilihan presiden. Didalam kehidupan kita terdapat sebuah pergeseran didalam dunia kompetisi, pergeseran yang terjadi pada kehidupan saat ini sangat berbeda dikarenakan disetiap kompetisi selalu di selipkan sebuah kepentingan-kepentingan individu, organ, bahkan luput dari kepentingan bersama, sehingga spirit berkompetisi itu ada di mana-mana.
Pada titik tertentu, mentalitas berkompetisi itu baik. Mentalitas ini membuat orang lebih maju dan berkembang. Tetapi, kompetisi menjadi sesuatu yang buruk saat orang menghalalkan segala cara untuk mengalahkan lawan tandingnya. Pada saat seperti ini, kompetisi sebagai perlombaan berubah menjadi kontestasi alias pertikaian dan perseteruan.
Kita harus realistis karena sesungguhnya dalam kehidupan bermasyarakat kita jumpai keduanya, baik kompetisi maupun kontestasi. Dalam organisasi mana pun, baik institusi sekuler maupun institusi agama, selalu terdapat kompetisi antar-kelompok. Ini baik!!!..
Celakanya, kompetisi sering berubah menjadi kontestasi. Lalu, kontestasi mengubah spirit kelompok yang menekankan kolaborasi menjadi komplotan yang menciptakan kontroversi.
Mengapa terjadi kontestasi? Paling sedikit ada dua faktor yang menjadi penyebabnya yang akan diuraikan di bawah ini.
Faktor pertama, kita semua terikat pada faktor primitif dan primordialistik, seperti ikatan etnik, latar belakang kelompok, dan taruhlah ikatan organisasi. Ikatan yang berlebihan pada faktor-faktor ini yang kemudian dipolitisasi agar membangkitkan sisi emosional kita. Efeknya, kontestasi yang emosional akan membuat orang tidak mampu berpikir dan bertindak rasional.
Situasi itulah yang sekarang mewarnai dan bahkan mendominasi dunia ‘politik’ di mana pun, baik ‘politik’ dalam institusi sekuler maupun dalam institusi-institusi keagamaan kita. Terjadilah polarisasi yang menajam antara kami vs mereka.
Faktor kedua penyebab berubahnya kompetisi menjadi kontestasi adalah karena adanya pengaruh dan pekerjaan the invisible hands. Kaum the invisible hands adalah mereka yang punya akses pada kekuasaan politik dan juga pada kekuatan modal. Mereka adalah kelompok “penekan kaum oligarki,” menggunakan dengan power and money-nya, mampu mempengaruhi jalannya kompetisi di manapun agar sesuai dengan kehendak mereka.
Lalu, orangpun menjadi dungu, yang bersedia meminggirkan dan bahkan menyingkirkan idealisme karena keuntungan sesaat. Keadilan dan kebenaran pun diputar balikkan!.
Sesungguhnya, di negeri kita, budaya demokrasi dengan kompetisi yang beradab telah berubah menjadi kontestasi yang biadab. Budaya demokrasi kita menjadi kacau!!!. Dalam setiap kontestasi, semua unsur dan faktor-faktor di atas itu sudah sangat mempengaruhi kita. Seberapa jauh efeknya tergantung integritas setiap orang.
Celakanya, apa pun keputusan kita dalam ajang kontestasi itu selalu diiringi dengan justifikasi moral, etis, dan bahkan teologis. Memang, dalam pertarungan yang melibatkan unsur emosional, kita kehilangan rasionalitas. Saat itu kita mampu membenarkan apa yang salah dan menyalahkan apa yang benar.
Pemenang dalam kontestasi politik apa pun, baik dalam organisasi sekuler maupun dalam organisasi keagamaan, tidak selalu orang yang berkualitas dan berintegritas. Yang dungu atau bahkan para koruptor pun berpeluang besar menang.
Praktik transaksional yang melibatkan uang dan kekuasaan bisa mengatur peta politik dalam sekejab. Apa pun dilanggar atau diabaikan. Pragmatisme politik yang menghasilkan hoaks kejam bisa menjungkalkan integritas menjadi disintegritas. Moralitas pun tergusur total!
Sekali lagi, situasi di mana kompetisi berubah menjadi kontestasi terjadi di hampir seluruh aspek ‘politik’, baik di Organisasi sekuler maupun, moga-moga tidak, dalam Organisasi keagamaan. Demokrasi yang bersifat rasional untuk kepentingan rakyat banyak berubah menjadi democrazy yang emosional dan transaksional demi melayani dominasi dan hegemoni kaum kelas atas.
Meski kita masih berharap Organisasi keagamaan atau yang berafiliasi dengan agama tidak tertular virus kontestasi, kita harus realistis bahwa manusia itu berdosa dan rapuh. Saat berhubungan dengan kekuasaan, manusia dalam organisasi atau institusi apa pun, termasuk dalam institusi keagamaan, berpotensi terjebak dan tergeletak oleh virus ini.
Tiba-tiba saja saya teringat kata-kata Abraham Lincoln; “Bila mau menguji integritas seseorang, berilah dia kekuasaan”.