Jember, agitasi.id – Istilah “mahasiswa,” sering identik dengan kelompok yang mapan secara intelektual. Mapan secara intelektual karena mahasiswa berada di jenjang pendidikan yang tinggi.
Ada juga yang menyebutkan mahasiswa, merupakan kaum muda yang terpelajar. Bahkan yang paling fundamental bahwa mahasiswa adalah representasi real dengan meminjam istilah Ali Syariati yakni Rausyanfikr.
Jalaludin Rakhmat dalam pengantarnya pada buku Ideologi Kaum Intelektual karya Ali Syariati menjelaskan: Rausyanfikr adalah kata Persia yang artinya “pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau freethinkers. Mungkin terjemahan paling tepat untuk istilah rausyanfikr adalah kaum intelektual dalam arti yang sebenarnya.
Kaum intelektual bukan sarjana, yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga bukan sekadar ilmuwan, yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.
Konsepsi rausyanfikr, ini harus diilhami kelompok mahasiswa dalam realitas kehidupannya. Aktivitas mahasiswa, baik di lingkungan pendidikannya (kampus) maupun di luar lingkungan pendidikannya (organisasi, masyarakat), adalah aktivitas intelektual. Oleh itu, jiwa dan pemikiran mereka selalu gelisah dan kegelisahan itulah mereka mampu mengembangkan dirinya secara individu maupun komunal. Misalnya, pada ranah pengambilan sebuah keputusan pun haruslah dilakukan dengan pembahasan dan diskusi yang panjang serta mendalam.
Hal-hal di atas menjadikan mahasiswa mempunyai posisi dan peran strategis dalam setiap denyut nadi perjalanan dan dinamika kebangsaan.
Peran Mahasiswa
Dalam realitas sosial dan keberadaannya (eksistensi), mahasiswa mempunyai peranan yang cukup signifikan,baik secara historis, hari ini, maupun masa yang akan datang, untuk kepentingan negara bangsa (nation-state). Bahwa perjalanan kebangsaan-keindonesiaan kita tidak terlepas dari peran dan gerakan-gerakan kaum muda yang terpelajar atau mahasiswa pada masa-masa itu.
Misalnya pada setiap peristiwa sejarah perjuangan yang terjadi yang itu di dalamnya ada keterlibatan mahasiswa, mulai dari pembentukan Organisasi Budi Utomo 1908, ikrar Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan Indonesia 1945, melengserkan rezim Soekarno (Orde Lama) dan Soeharto (Orde Baru), sampai gerakan Reformasi 1998.
Perkumpulan politik yang tertua ialah Budi Utomo, yang didirikan pada tahun 1908 oleh orang-orang terpelajar di bawah pimpinan dokter Wahidin Sudirohusodo. Pergerakan politik di Indonesia itu tidak dapat dilepaskan dari pergerakan politik yang dijalankan oleh pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Perkumpulan yang dinamakan Perhimpunan Indonesia atau disingkat PI (Nasruddin Anshoriy Ch, 2008).
Pelajar-pelajar Indonesia, mula-mula mendirikan perkumpulan-perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, yang didirikan oleh pemuda-pemuda Sunda, Jong Ambon, Jong Celebes, dan sebagainya. Tetapi, sesudah pemuda-pemuda itu menginsafi kedudukan sebagai putera Indonesia, bukan lagi putra daerah, yang dalam pergerakannya berpedoman Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober (Nasruddin Anshoriy Ch, 2008).
Berdasarkan peristiwa-peristiwa bersejarah itulah kemudian paradigma pemikiran yang dibangun untuk memastikan bahwa mahasiswa merupakan entitas yang mampu membawa perubahan. Dengan berlandaskan pada paradigma demikian, mahasiswa selalu disuarakan sebagai agen social of change, agen social of control dan iron stock. Sehingga mahasiswa harus mampu menjalankan peran dan fungsinya.
Pada kerangka/struktur kehidupan bernegara, mahasiswa mempunyai posisi strategis sebagai midle clas (klas menengah) yang hadir di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat kita di suatu negara. Mereka (baca: mahasiswa) mengontrol setiap kebijakan pemerintah sebagai kelas atas (high clas) yang dibuat untuk kepentingan dan masa depan masyarakat umum sebagai kelas bawah (under clas). Sehingga kehadiran mahasiswa memang sangat dibutuhkan, dan antara masyarakat dan mahasiswa satu kesatuan yang tidak bisa dilepas pisahkan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dinamika Kampus
Makna pendidikan, sebagaimana dalam UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Tetapi dalam penerapannya, pendidikan di Indonesia terkesan sangat pragmatis, keluar jalur dari konsep pendidikan di atas.
Pada konteks pendidikan tinggi yang dilaksanakan dengan tujuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Pasal 2 bahwa (a) Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian, dan (b) Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Ini juga masih keluar jalur ketika melihat praktiknya.
Kampus, saat ini telah mengalami pergeseran makna yakni melahirkan sumber daya manusia yang orientasi hanya untuk menjadi pekerja andal, tetapi menghilangkan kualitas SDM dari segi berinovasi dan berkreativitas dalam berbagai bidang.
Penerapan sistem pendidikan yang diterapkan pada sebagian besar kampus di Indonesia cenderung menguras energi mahasiswa karena menitik-beratkan pada menerima materi kuliah dalam ruangan, banyaknya tugas yang diberikan dosen, terlalu banyak mengejar nilai dengan tujuan untuk IPK saja, dan lain-lain. Akibatnya ialah banyak mahasiswa sangat gagap melihat realitas sosial yang sedang terjadi dan lamban membaca fenomena masyarakat serta kebangsaan kita.
Mestinya kampus digunakan sebagai kawah candra dimuka untuk menggodok para mahasiswa, tentunya tak hanya mengajarkan teori yang terkesan mendiskripsikan ide dan teori semata. Lebih jauh dari itu. Para mahasiswa juga diwajibkan untuk menuangkan ide-ide tersebut ke dalam gerakan-gerakan demi memajukan masyarakat luas.
Setidaknya dalam melaksanakan pembauran dengan masyarakat, agar tercipta mahasiswa-mahasiswa yang memiliki karakter intelektual organik sebagaimana yang dicita-citakan Gramsci. Kampus, sejatinya memberikan ruang yang luas kepada mahasiswa untuk mengembangkan kapasitasnya sebagai insan yang merdeka, berekspresi kembangkan ide dan gagasan bagi kepentingan dirinya, keilmuannya, kepentingan kampus itu sendiri, dan untuk masyarakat secara umum. Bukan sebagai penghalang bagi mahasiswa dalam berekspresi dan mengahalangi sikap kritisnya.
Terlepas dari bagaimana seharusnya kampus memandang mahasiswa sebagai kelompok strategis di tengah masyarakat, pendidikan tinggi juga diselenggarakan dengan tujuan yang berdasar pada UUD 1945, Undang- undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Kondisi Bangsa
Kondisi bangsa saat ini dalam pandangan mahasiswa sangat memprihatinkan akibat dari berbagai macam peristiwa yang sering terjadi. Konflik antar-anak bangsa, antar-umat, sehingga menimbulkan protes dari berbagai macam kalangan yang dilayangkan terutama kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara, semua kalangan itu tanpa kecuali ada juga mahasiswa.
Bahwa kalau pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak mampu untuk berupaya melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kondisi bangsa kita hari ini dalam rangka menciptakan “negara ideal”, maka mahasiswa sebagai agent of change (perubahan) dan agent of social control (pengontrol) harus lebih banyak berpikir dan bertindak untuk memperbaiki kondisi bangsa hari ini dalam rangka menciptkan bagaimana suatu negara yang ideal.
Negara Ideal menurut Plato (428 – 348 SM), seorang filsuf besar zaman Yunani kuno, adalah suatu komunitas etikal untuk mencapai kebajikan dan kebaikan. Sehingga untuk mencapai negara ideal, maka dalam hidup bernegara nilai-nilai moralitas harus sangat diperhatikan. Plato sangat menjunjung tinggi mengenai kebaikan moralitas yang mana negara harus memiliki rasa kekeluargaan agar mencerminkan kerukunan dan keharmonisan antara masyarakat dan pemerintahan.
Sayangnya konsepsi dari Plato tidak diilhami negara ini. Sehingga, menjadi sebaliknya, Indonesia ini sudah merupakan negara yang tidak ideal atau negara yang gagal jika dilihat dari berbagai macam permasalahan yang terjadi.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam bukunya Why Nations Fail, negara yang gagal itu terjadi karena kekuasaan bergaya kolonial makin masif terjadi di suatu negara sehingga menyebabkan kemakmuran makin jauh dan kemiskinan terus terjadi pada negara itu.
Dikatakan negara gagal, sebab Indonesia termasuk negara yang banyak masalahnya. Mulai dari pemerintahan yang korup, masih banyak rakyat yang mengalami kemiskinan dan ketidak sejahteraan, pengrusakan lingkungan, terorisme, buruknya demokrasi kita, dan lain-lain. Dan permasalahan-permasalahan itu belum mampu teratasi secara baik dan benar.
Padahal, tugas pokok Pemerintah Republik Indonesia ialah: Meliputi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sedangkan fungsi pemerintah dalam melaksanakan tugas pokok adalah menyelanggarakan pertahanan dan keamanan dan peradilan, urusan perekonomian, membina demokrasi, menyelenggarakan kesejahteraan, keuangan pendidikan budaya dan agama (Hamdan Mansur, 2000).
Penulis : Sam Cakra