Jember, agitasi.id – Sebagai elit yang telah dikhusukan, perempuan selalu menjadi perbincangan sejak zaman keterbelakangan bangsa-bangsa dunia ketiga, tentunya tinjauan tinjauan secara khusus. Mulai dari soal kepemimpinan sampai kekerasan seksual. Darisinilah terdapat dominan erat dengan fakta lingkungan, bahwa masih banyak para masyarakat yang belum memusatkan perhatian secara khusus dalam penyetaraan dan pembangunan terkait perempuan.
Semboyan yang dicitakan Ibu R.A Kartini, tentang menyejahterakan dan memusatkan pemikiran secara kritis bagi kaum perempuan, awal bulan ini mengalami cidera. Cidera duka ini tertimpa pada bumi Jember, yang sedang terpuruk hujan asa dan sedang merasakan kedzoliman kasat mata pada lahan bumi Jember itu sendiri. Esensi duka, tertimpa pada mahasiswi Universitas Jember dengan Kasus Pencabulan yang dilakukan oleh paman nya sendiri. Kenyataan sengsara ini membangunkan kami secara buas, memerintahkan diri sendiri sebagai kaum perempuan menjadi pantang jika tidak mengobarkan tindakan bergerak dan membela sebenar-benarnya pada kontruksi sosial tersebut. Karena sejatinya pada Anotomi gerakan kaum perempuan hanya ingin memberantas penidasan kaum perempuan.
Partisipasi kami tentunya berpegang teguh pada sikap irrasional tradisi humanistik yang memberikan titik perhatian alternatif terhadap keterbelakangan dan bagaimana cara mengatasinya. Freire mengatakan “ Masalah pembangunan lebih merupakan soal keadilan ketimbang kekayaan” (Curcle 1973). Landasan ini menjadi patron ambalela kami agar Pemerintah yang bersangkutan menindak lanuti secara adil kasus tersebut. Bahwa dalam kaca mata manapun hal ini adalah salah.
Dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 20002 Tentang Perlindungan Anak sesuai dengan pasal 82 ayat (1) dapat dipidana minimal 5 tahun dan maxsimal 15 tahun penjara. Sedangkan ayat (2) memuat bahwa ada pidana tambahan selama 1/3 dari masa tahunan apabila yang melakukan tindakan pidana pencabulan masih keluarga penyintas. Sesuai Dengan Hal ini, kami menuntut keras kepada pihak yang berwewnang untuk melaksanakan tugasnya.
Begitupula islam telah bersuara dari jauh sebelum hukum positif muncul, Bahwa kekerasan seksual tersebut dinamakan “ijibari” yang berarti diperkosa atau dipaksa. Dan suatu perbuatan dikategorikan sebagai pemaksaan jika memenuhi beberapa persyaratan, antara lain pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamanya. Untuk menyinggung permasalahan yang terjadi, bahwa realitanya kasus tersebut berdiksi “pijatan cinta dari seorang paman pada keponakannya”, yang secara rasio tidak mungkin hal ini terjadi karena keduanya terdapat hubungan darah, dan paman tersebut terdonimasi kata baik dari berbagai persepsi karena menurutnya telah memberikan fasilitas seperti anak sendiri. Hukum islam berkomentar, sesuai dengan Firman Allah yang artinya “katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya,” An-Nur ayat 31. Dalam menafsirkan ayat ini ulama sepakat bahwa hal yang dilarang adalah memandang lawan jenis dengan nafsu syahwat birahi atau hasrat seksual. Sehingga bisa disimpulkan dengan memandang saja, larangan tersebut sudah jelas haram nya apalagi dengan kejadian tersebut. Cinta bukanlah disalurkan lewat pijatan yang telah dilakukan, banyak cara komunikasi yang lebih baik. Tentu hal ini tetap menjadi dosa karena telah dilakukan.
Perbuatan tersebut, sudah jelas. Bahwa ia merendahkan keponakan sendiri sebagai perempuan. Karena hal ini telah melanggar norma yang bertentangan dengan agama dan kehormatan perempuan.
*) Penulis adalah seorang Kader Putri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, yang memiliki nama pena Sayyidatul Qohwah.