Oleh: Suryadi Khusnal Jauhari*
Agitasi.id- Berbicara tentang mafia penelitian dan jurnal predator, Indonesia tampaknya sedang melangkah menuju puncak yang memalukan. Tahun 2022 menjadi saksi pahit ketika Vít Macháček dan Martin Srholec mempublikasikan riset mereka tentang kualitas penelitian di kampus-kampus dunia. Apa hasilnya? Indonesia bertengger di posisi kedua, hanya kalah dari Kazakhstan, sebagai kontributor terbesar untuk jurnal predator. Sebuah “prestasi” yang tidak patut dibanggakan.
Kejadian ini tentu bukan hasil kerja satu kampus semata. Ini adalah buah dari kontribusi buruk kolektif—iuran gelap dari para akademisi di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, umum maupun berbasis agama. Keburukan yang melibatkan tangan-tangan banyak pihak, meninggalkan noda hitam yang sulit dihapus.
Dalam temuan Macháček dan Srholec, dari 175 negara, 16,73% artikel dalam jurnal predator berasal dari Indonesia. Sebuah angka yang mencengangkan dan memilukan. Bahkan, ini belum menghitung indeks predator lokal seperti Sinta dan sejenisnya. Dengan angka sebesar itu, jelas kebobrokan ini bukan ulah satu individu atau satu institusi saja—ini adalah dosa kolektif.
Bagi Anda yang masih memegang teguh moral akademik, tentu rasa malu akan menyelusup hingga ke dasar hati. Rasa ingin bangkit dan memperbaiki keadaan menjadi sangat mendesak. Karena itu, tulisan ini hadir sebagai sebuah ajakan, sebuah panggilan untuk membuka mata dan hati, serta merenungi salah satu kasus kelam yang pernah terjadi.
Mari kita kilas balik ke awal tahun 2019, ketika nama Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, yang kala itu masih bernama IAIN Jember, terseret dalam kasus plagiasi jurnal. Salah satu guru besar kampus tersebut “dikabarkan” terlibat. Ironisnya, hingga hari ini, sang pelaku diduga belum tersentuh sanksi tegas.
Kasus ini bukan sekadar lembaran hitam dalam sejarah satu kampus, melainkan potret buram dari sistem akademik kita yang telah lama dibiarkan rapuh. Mengapa ini terjadi? Bagaimana bisa? Dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa menghentikan siklus yang merusak ini?
Rekam Jejak Plagiasi UIN KHAS
Kala itu, tanggal 14 Februari 2021, derap langkah puluhan mahasiswa memadati halaman kampus IAIN Jember, membawa poster dan spanduk yang berlumur tinta emosi. Wajah-wajah mereka memerah, bukan karena teriknya matahari, tetapi oleh bara amarah yang membakar dada.
“Bersihkan kampus dari plagiasi! Hapus kejahatan akademik!” pekik seorang orator, suaranya menembus deru kendaraan yang melintas. Spanduk bertuliskan nama seorang guru besar—yang juga calon rektor—dikibarkan tinggi-tinggi. Sosok yang seharusnya menjadi teladan ilmu itu malah menodai integritas yang mereka harap suci.
Mahasiswa yang berkumpul di sana adalah saksi sekaligus korban dari sebuah tragedi moral. Mereka bertanya, bagaimana mungkin tangan yang seharusnya membimbing mereka menjauhi kegelapan, justru jadi pencuri? Ketika para mahasiswa gemetar takut menyontek soal ujian, dosen mereka, sang panutan akademik, malah mencuri gagasan orang lain.
Dugaan itu tidak sembarangan. Bukti yang mereka pegang kuat, yakni naskah berjudul Reduction of Constraints on Arbitrage Trading and Market Efficiency: An Examination of Ex-Day in Hong Kong after Introduction of Electronic Settlement, karya Palani-Rajan Kadapakkam, yang diterbitkan di The Journal of Finance pada Desember 2000.
Mirisnya, tulisan ini muncul kembali dalam jurnal Al ‘Adalah tahun 2006 dengan judul yang diterjemahkan mentah-mentah: Pengurangan Hambatan Pada Perdagangan Arbitrase dan Efisiensi Pasar (Suatu Pengujian Return Ex-Day di Hong Kong). Penulisnya berubah, menjadi penguasa kala itu, Prof. BS.
Namun, kenyataan pahit menampar mahasiswa yang berseru lantang itu. Meski bukti disodorkan, meski suara mereka menggema dari halaman kampus hingga ke ruang rapat dewan, tak satu pun berani menjatuhkan sanksi. Justru, beberapa bulan setelah aksi itu, sang pelaku dilantik kembali menjadi rektor. Dugaan plagiasi yang menghebohkan ini seperti ditelan bumi, hilang bersama teriakan mereka yang seolah dianggap angin lalu.
Langit yang menyaksikan, gedung rektorat yang menjadi saksi diam, dan suara demonstran yang beradu lemah terasa—semua hanya menjadi bagian dari sebuah cerita yang menyesakkan dada untuk dikenang. Cerita tentang sebuah institusi yang seharusnya menjadi mercusuar kebenaran, namun tercoreng oleh bayangan gelap kejahatan plagiasi.
Mengurai Struktur Budaya Plagiasi
Apa yang terjadi di UIN KHAS dulu, tak dapat hanya dianggap sekadar masalah “satu individu” yang melanggar norma. Ini adalah cerminan kegagalan mendalam dari sebuah sistem yang seharusnya menjaga berintegritas, sebagai lembaga akademik.
Ada individu yang memanfaatkan posisinya untuk merusak apa yang seharusnya dilindungi, dan ditambah lagi, ada budaya yang terlalu toleran terhadap kelakuan tak bermoral ini.
Sebuah budaya yang seharusnya menjadi benteng untuk melawan kebohongan, malah memberi ruang bagi praktik jahat ini untuk tumbuh subur. Inilah titik di mana teori Antonio Giddens tentang dualitas struktur, dapat dipakai sebagai dasar menyentuh inti persoalan.
Giddens menjelaskan bahwa struktur dan individu saling memengaruhi, seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Dalam kasus ini, sang rektor (pelaku plagiasi) yang semestinya menjadi contoh teladan malah memperkokoh struktur yang mendukung kebohongan tanpa adanya sanksi yang jelas. Apa yang tampak sebagai pembiaran terhadap pelanggaran kecil ini, sejatinya adalah perusakan norma luhur dan pembiasaan ketidakadilan dalam ruang akademik.
Ketika pemimpin kampus memilih untuk menutup mata, mereka bukan hanya mengabaikan satu kesalahan, tetapi turut menumbuhkan sistem budaya pembiasaan kejahatan. Jika terus berkembang, dapat dimungkinkan kasus tersebut ke bukan sekadar soal satu individu yang tersesat, namun kolektivitas gagalnya moralitas dan nilai akademik.
Perubahan tak akan datang hanya dari satu individu. Seperti yang ditekankan Giddens, perubahan harus dimulai dari struktur itu sendiri. Jika rektor dan para pemimpin kampus benar-benar berniat memperbaiki budaya akademiknya, mereka harus mengambil peran sebagai agen perubahan yang sesungguhnya.
Mereka perlu menyusun kebijakan yang mendukung integritas dan orisinalitas, dengan mekanisme tegas yang akan memberi hukuman kepada siapa pun yang terlibat dalam plagiasi. Ini adalah langkah pertama yang harus diambil untuk menghentikan praktik busuk ini.
Namun, perubahan ini tak bisa bersifat sementara. Kebijakan yang diterapkan harus saling mendukung, memperbarui dan memperkuat satu sama lain dalam menciptakan atmosfer yang mendukung kejujuran akademik.
Rektor harus memastikan bahwa setiap kasus plagiasi mendapatkan hukuman yang setimpal. Bahkan lebih dari itu, mereka juga harus mendidik seluruh civitas akademika tentang pentingnya integritas.
Sekali lagi, kasus masa lalu UIN KHAS Jember, bukan sekadar soal menghukum yang bersalah, tetapi juga memberi pemahaman tentang betapa hancurnya dampak dari plagiasi terhadap reputasi kampus, bahkan dunia akademik secara keseluruhan.
Pemimpin kampus harus bekerja keras untuk menumbuhkan budaya yang menanamkan nilai-nilai kejujuran. Menciptakan lingkungan yang tidak hanya mengutuk plagiasi, tetapi juga merayakan prestasi yang diperoleh melalui perjuangan intelektual murni tanpa kebohongan.
*Penulis adalah Pegiat ilmu dan kajian Sosiologi Jawa Timur
- Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini.