Telah 20 Tahun RUU PPRT Mangkrak, Pekerja Perempuan dan Anak Masih Rentan Didiskriminasi

Ilustrasi : Agitasi/Alfa Reza

AGITASI.ID – Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) telah berulang kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS).

Mula-mula, RUU PPRT  diajukan pada periode 2004-2009 dan kembali diusulkan pada setiap periode keanggotaan DPR berikutnya. Meskipun demikian, RUU ini tidak pernah menjadi prioritas dan tak kunjung disahkan, dan prosesnya terus mengalami penundaan tanpa kepastian kapan akan dituntaskan.

Bacaan Lainnya

Keberadaan RUU ini, sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum dan pengakuan terhadap hak-hak Pekerja Rumah Tangga yang mayoritas digandrungi oleh perempuan dan anak.

Antara janji dan kenyataan, tahun lalu Jokowi sempat berkomitmen untuk memaksimalkan perlindungan dan mempercepat ditetapkannya RUU PPRT. Namun mirisnya, periode Jokowi kemudian disibukkan oleh PEMILU yang menyebabkan proses penetapan RUU PPRT menjadi becek hingga mangkrak genap 20 tahun.

Melihat DPR mampu mengesahkan RUU lain bisa dengan durasi beberapa jam saja, sedangkan RUU PPRT butuh puluhan tahun lamanya.

Hal tersebut, menunjukkan bahwa Badan Legislatif cenderung acuh tak acuh terhadap kondisi PRT di Indonesia, yang banyak mengalami isu tragis seperti  kekerasan, diskriminasi, eksploitasi gaji bahkan pelecehan.

Dampak Ketidakadaan Payung Hukum bagi PRT Perempuan dan Anak

Kondisi PRT perempuan di Indonesia kerap ditandai oleh eksploitasi dan pelanggaran HAM serius. PRT, yang mayoritas ditekuni oleh perempuan dan anak, hingga detik ini tidak diakui sebagai pekerja, itu menyebabkan hak-hak mereka diabaikan  layaknya budak.

Berdasarkan data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang 2019-2023, setidaknya terdapat 25 kasus terkait PRT yang diadukan ke Komnas Perempuan, dan 2 kasus terakhir tahun 2023-2024. Selain itu, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) juga mencatat pada tahun 2018-2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT.

Baca Juga :  Kekerasan Seksual Anak dan Advokasi Narsistik KOPRI PC PMII Jember

Meningkatnya kasus PRT setiap tahunnya, mencerminkan bahwa situasi PRT perempuan dan anak bukan hanya mengalami eksploitasi ekonomi, tapi juga kekerasan fisik, emosional, pelecehan seksual dan berakhir tanpa proses hukum.

Kemudian, dampak dari ketidakadaan payung hukum bagi PRT perempuan dan anak mengakibatkan upah minimum yang tak jelas. Tidak sedikit PRT menerima gaji jauh dari kata layak di bawah standar upah minimum regional. Rata-rata upah PPRT dihitung sesuai dengan tradisi pemberi kerja, sehingga jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Sejauh ini, pemberi kerja dianggap sebagai pemilik kekuasaan absolut atas segala aturan terhadap PRT. Pasalnya, tidak ada aturan yang mengatur tentang gaji, begitu pun dengan hak PRT yang diatur oleh pemberi kerja sesuai dengan hukum tradisi.

Hal tersebut cenderung  dijadikan momen untuk memanfaatkan situasi dalam pemberian upah PRT seminimal mungkin.

Gaji yang tidak layak adalah masalah utama yang dihadapi oleh PRT perempuan dan anak di Indonesia. Sebagian besar PRT digaji dengan kisaran rata-rata antara 20-30% dari upah minimum regional. Hal ini mengakibatkan PRT sulit memperbaiki hidup dan kemiskinan turun temurun bagi keluarga PRT.

Padahal, jam kerja PRT jauh lebih panjang dibanding pekerja formal lainnya. Sebab PRT tidak memiliki jam kerja tetap seperti pekerjaan formal yang diatur oleh undang-undang.

Tantangan dan Rintangan : Dinamika Politik  dan Sosial dalam Pengesahan RUU PPRT

Proses penetapan RUU PPRT sebagai payung hukum, bagi PRT perempuan dan anak yang rentan menjadi korban sanggatlah panjang dan berliku. Tidak luput dari rintangan dan tantangan yang signifikan, baik dari kalangan sosial maupun politik.

Jika dilihat dari dinamika politik, tidak sedikit anggota DPR lebih berpihak terhadap kepentingan politik dan ekonomi kelompok elit, sehingga RUU PPRT tidak dianggap sebagai prioritas untuk segera disahkan.

Baca Juga :  PEREMPUAN, HARUS MELEK HUKUM!

Mengapa demikian? Karena mayoritas anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha, yang acap kali memiliki pandangan bias terhadap PRT. Jangan jauh-jauh, bukankah DPR mampu menjegal ketetapan MK dalam waktu beberapa jam saja? Sedangkan usulan RUU PPRT mandek di meja Puan tanpa kabar kapan pastinya.

Selain itu, ketidakpastian kepemimpinan. Saat ini, DPR dalam masa-masa galau alias ambigu, dimana kemungkinan besar Puan Maharani akan kembali memimpin sebagai ketua DPR RI. Bagaimana tidak, di tahun sebelumnya Puan justru dinilai kurang mendukung RUU PPRT. Tentu, ketidakberpihakan Puan sebagai pemimpin DPR RI juga menjadi hambatan disahkannya RUU PPRT.

Selanjutnya, dinamika sosial juga mempengaruhi terhambatnya pengesahan RUU PPRT menjadi Undang-Undang. Adanya stigma bahwa PRT acap kali dipandang rendah oleh masyarakat. Kebanyakan menganggap PRT bukanlah pekerjaan formal.

Sehingga, stigma ini menghalangi pengakuan PRT sebagai subjek hukum yang berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dan pemerintahan.

Tidak jelasnya status hukum PRT, menyebabkan mereka rentan menjadi korban pelanggaran HAM dan mengurangi urgensi dalam penyegeraan disahkannya RUU PPRT sebagai instrumen perlindungan hukum.

Oleh karena itu, kesadaran masyarakat sipil terhadap dampak ketidakadaan payung hukum bagi PRT sangat penting, sebagai pendesak DPR agar segera mengesahkan RUU.

RUU PPRT perlu kembali dijadikan prioritas. Legislatif yang berbelit-belit pada dasarnya menghambat proses pengesahan RUU PPRT.

Jika keputusan MK tentang Pilkada kemarin mampu dituntaskan dalam hitungan jam, mengapa RUU PPRT tidak !?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *