JEMBER, AGITASI.ID – “Ketika anda tidak bisa memberikan ruang aman, setidaknya jangan jadi pelaku kekerasan seksual,” ungkap Aab, dalam sambutannya selaku direktur adgenseks street. Webinar berbasis diskusi gender yang diadakan langsung oleh komunitas adgenseks street, tepat pada hari Rabu 4 agustus 2021 pukul 19.00 via google meet. Agenda tersebut diadakan dengan maksud menggugah rasa kepekaan terhadap Gender Equality dan segala bentuk penyimpangan di lingkungan perguruan tinggi tentang kekerasan seksual. Tak hanya kepada mahasiswa, namun juga kepada seluruh pihak kampus. Sesuai dengan tema yang diambil yakni “Apa Pentingnya Pusat Studi Gender (PSG) Untuk Menunjang Pembelajaran Di Perguruan Tinggi,”?.
Narasumber pertama menhadirkan dosen UIN KHAS Jember, Alfisyah Nurhayati. S.Ag, M.SI. Membuka mata para peserta dengan segala bentuk diskriminasi di perguruan tinggi yang marak terjadi khusunya tentang Gender Equality. Namun seolah sengaja dibisukan, isu gender bahkan dianggap urusan perempuan saja,tentu hal tersebut sangat miris. Lalu terwujudkah Tri Dharma perguruan tinggi? Ketika civitas akademika masih ada diskriminasi terhadap gender, pengajaran di perguruan tinggi yang masih terbilang seksis.
Menurut perempuan berkerudung hitam itu, Trisna. “Tidak penting adanya PSG di perguruan tinggi, asalkan oknum-oknum didalamnya sudah memahaminya,” lalu mungkinkah kita menjamin tiap individu paham terhadap hal tersebut. Ini berarti penting sekali adanya PSG di perguruan tinggi. Trisna Dwi Yuni Aresta, sebagai narasumber kedua menyebutkan empat kriteria pusat studi gender (PSG) bisa dikatakan ideal. Diantaranya mampu memberikan pemahaman gender equality dan seksualitas. Serta memberikan pemahaman pencegahan kekerasan seksual. “Kampus merdeka obyeknya bukan mahasiswa saja, melainkan bebas dari kekerasan seksual dan tenaga pendidik yang tidak sesuai dengan gender equality,” ujar Trisna.
“Untuk mewujudkan Tri Dharma perguruan tinggi, harus ada dukungan dari berbagai pihak, dengan melek terhadap asupan-asupan di kampus, termasuk toxic circle, diskriminasi dan asupan patriarkis.” Sambung Dinda, sebagai narasumber ketiga. Menurutnya, gender adalah ilmu kemanusiaan, maka kesadaran menjaga dan menghormati sesama adalah sebuah keharusan.
Dalam diskusi tersebut diikuti oleh puluhan peserta, sehingga banyak sekali antusias untuk melontarkan persoalan yang ada. Salah satu diantaranya yang cukup menarik perhatian adalah, mengenai akun instagram @uinkhascantik dan @unejcantik yang sempat disinggung. “Akun-akun tersebut menurut saya adalah suatu bentuk diskriminasi, karena mencoba menstandarisasi kecantikan seorang perempuan dengan kriteria si admin,” ungkap Trisna. Sehingga muncul argumen-argumen lain sebagai timbal baliknya.
Menurut Saras, sebagai narasumber terakhir “Kesadaran dan ruang aman adalah hal yang paling penting, RUU PKS salah satu sentral untuk mengevakuasi korban”. Dalam penjelasannya menguatarakan bahwa advokasi penanganan kekerasan seksual adalah proses yang panjang, minimal dengan memahami persoalan yang ada adalah suatu usaha untuk membawa perubahan, kemudian dilanjut dengan tahapan-tahapan berikutnya.
Acara sudah berlangsung selama kurang lebih 2 jam, namun tidak mengurangi antusias audien untuk berdiskusi “Gerakan semacam ini, seolah mengagung-agungkan pihak perempuan, jadi kami sebagaii pihak laki-laki merasa tersingkirkan,” jelas Gulthom, sembari dipandu oleh moderator.
“Kalau laki-laki merasa tersingkirkan, berarti ada yang salah terhadap pemikiran gerakannya”. tambal Alfis.
Tentu Perlu adanya pemahaman-pemahaman mendalam terhadap gender. Bahwa gender adalah milik segala pihak, tidak ada keberpihakan atau menganak tirikan salah satu pihak. Tidak mungkin kita menciptakan keadilan kalau masih mendiskriminasi pihak lain. Begitu closing statement pada diskusi ini.
Pewarta : Binti Novita
Editor : Erisha Najwa