JEMBER, AGITASI.ID – Realitas pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, masyarakat kelas menengah ke bawah di Jember, terpaksa mengembangkan strategi alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya adalah munculnya komunitas pengamen angklung jalanan yang memanfaatkan alat musik tradisional sebagai sumber penghidupan.
Mustakim (26) dan Ridwan (32), dua pengamen angklung di kawasan lampu merah Bhayangkara, Kecamatan Patrang, menjadi contoh nyata dari upaya bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi. Ridwan, sebagai kepala keluarga, mengaku menanggung seluruh kebutuhan rumah tangga, termasuk biaya listrik dan beras.
“Semua di rumah ditanggung saya, termasuk belanja beras, listrik. Kalau nggak kerja gini, saya nggak bisa,” katanya saat ditemui Agitasi.id.
Sementara Mustakim, menyebut aktivitas ini sebagai pengalaman, meski tidak menutupi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Aktivitas ini tidak lepas dari intervensi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Jember. Ridwan mengungkapkan bahwa mereka kerap menghadapi operasi aparat, bahkan pernah ditahan selama satu minggu.
“Sempat ditangkep tapi dikembalikan, kan kena tangkep ditahan selama satu minggu habis itu dikembalikan,” ujarnya.
Keberadaan pengamen angklung di Jember, rupanya menjadi konflik praktik regulasi. Di mana Satpol PP diduga melakukan miskomunikasi saat menjalankan operasi.
“Aslinya nggk papa angklung mas, tapi gimana ya ini kan di pinggir jalan juga, jadi itu yang nggk boleh,” terang Ridwan.
Ia juga menyebut adanya praktik pungutan liar sebagai syarat untuk tetap beroperasi. “Kalau nggk bayar, ditahan satu malam satu hari,” tegas Mustakim.
Fenomena ini menguak ambiguitas kebijakan publik dalam mengatur pekerja informal. Di satu sisi, angklung dianggap sebagai ekspresi budaya yang tidak mengganggu. Namun di sisi lain, aktivitas ini di ruang publik kerap dianggap melanggar ketertiban.
Ridwan mencontohkan kasus siluman (pengamen kostum silver) yang memicu larangan massal. “Masalah itu yang nggk boleh, badut sama silver kan sering buat kisruh, habis itu angklung disalahin juga kena imbasnya,” katanya.
Ketidakjelasan aturan ini memperparah kerentanan ekonomi pengamen, yang pendapatannya sudah tidak menentu. “Udah alhamdulillah tak syukuri, sedikit, banyak,” jawab Ridwan ketika ditanya tentang penghasilannya pada Minggu (27/04/2025) siang hari.
Tekanan ekonomi yang kian meningkat juga mendorong migrasi kerja. Ridwan mengaku berencana merantau ke Bali. “Sekarang era ekonomi Jember kayak gini, sembarang mahal. Saya insyaallah habis ini merantau ke Bali,” ujarnya.
Hal ini mencerminkan kegagalan sistemik dalam menciptakan lapangan kerja yang stabil bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Aktivitas pengamen angklung, meski dianggap sebagai solusi kreatif, tetapi terperangkap dalam lingkaran ketidakpastian, akibat regulasi yang ambigu dan minimnya perlindungan sosial.
Tanpa intervensi kebijakan yang holistik, fenomena ini akan terus menjadi cermin dari ketimpangan struktural yang menggerogoti tatanan sosial-ekonomi Jember.
Kontributor: Rendi dan Dayat (Mahasiswa Hukum Keluarga UIN KHAS Jember, angkatan 23 dan 24)
Editor: Samsi Ridwan