JEMBER, AGITASI.ID – Nasib kehidupan masyarakat Kabupaten Jember 20 tahun kedepan, ditentukan oleh bagaimana pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2024-2044 sebagai acuan dasar pembangunan. Apakah sudah berpihak kepada masyarakat Jember atau justru berpihak kepada kaum elit yang mempunyai relasi-kuasa terkait tambang.
Sudah sewajarnya masyarakat baik individu maupun kelompok Non Government Organization, diikutsertakan dalam membahas dan mengkaji penyusunan RTRW Kabupaten Jember. Namun pasalnya, hingga detik ini perencanaan disusun dengan sembrono dan tidak pro terhadap rakyat.
Masalah pertambangan yang tidak pernah selesai, kian merusak dan merenggut nafas ekologi. Hal ini menjadi alasan Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Jember untuk terus mengkritik, mengawal dan menuntut proses perumusan kebijakan RTRW.
PC PMII Jember melakukan aksi massa yang berlangsung di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), 19/09/2024. Tepat pada pukul 12:40 beberapa fraksi yang ada di DPRD menunjukkan batang hidungnya di hadapan massa aksi dengan baju rapi anti debu. Kemudian dilanjut dengan penyampaian isi tuntutan kepada pimpinan DPRD.
Ketika diwawancara crew Agitasi, Taufik selaku koordinator lapangan (korlap) menjelaskan terkait adanya aksi tersebut.
“Momentum aksi ini terjadi berdasarkan persiapan yang matang, mulai dari konsolidasi yang mengkaji beberapa masalah lingkungan yang fatal akibat tambak dan pertambangan tipe C, yang termuat dalam RANPERDA RTRW, hingga akhirnya melahirkan 8 tuntutan,” jelasnya.
Adapun delapan tuntutan yang disampaikan yaitu :
- Mendesak DPRD Kabupaten Jember untuk mengkaji ulang RANPERDA RTRW 2024-2044;
- Menuntut DPRD Kabupaten Jember untuk melakukan uji publik sebelum pengesahan RANPERDA RTRW;
- Mendesak DPRD Kabupaten Jember untuk berkomitmen terhadap penolakan tambang dan tambak di dalam RANPERDA RTRW;
- Menuntut dan mendesak DPRD Kabupaten Jember untuk berpihak terhadap rakyat dan kelompok rentan dalam kebijakan RTRW;
- Menuntut DPRD Kabupaten Jember agar mengembalikan aturan yang melindungi gumuk sebagai cagar alam geologi dalam RANPERDA RTRW 2024-2044;
- Menuntut dan mendesak DPRD Kabupaten Jember dan pemerintah Kabupaten Jember untuk berkomitmen menolak pengesahan RANPERDA RTRW melalui PERKADA;
- Menuntut DPRD Kabupaten Jember dan pemerintah Kabupaten Jember agar mempublikasikan seluruh berkas atau dokumen yang berkaitan dengan RANPERDA RTRW; dan
- Menuntut DPRD Kabupten Jember dan pemerintah Kabupaten Jember untuk mengakomodir evaluasi dan rekomendasi publik dalam penyusunan RANPERDA RTRW.
Lebih lanjut, Taufik juga menjelaskan terdapat kecacatan naskah akademik dalam Rancangan Peraturan Daerah RTRW Jember.
“Delapan tuntutan ini kami sampaikan sebagai bentuk kepedulian kami terhadap nasib Kabupaten Jember 20 tahun kedepan. Melihat kondisi Jember yang rentan akan kerusakan lingkungan, namun nampaknya pemerintah telah dibutakan oleh iming-iming kaum elit. Hal tersebut jelas, terlihat adanya pertambangan tipe C yang dimuat dalam naskah akademik dan dokumen Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah, tidak hanya itu, wilayah selatan Jember juga mengalami masa kritis yang entah kapan akan kembali sehat. Hal tersebut terjadi karena maraknya tambak-tambak yang ada di wilayah pesisir”.
Diskusi panjang antara aksi massa PMII Jember dengan beberapa fraksi yang ada di DPRD. Berakhir dengan adanya pernyataan sikap dari pimpinan DPRD Jember sementara, Ahmad Halim.
“Kami dari DPRD mendukung penuh tuntutan adek-adek mahasiswa dengan mengajukan perpanjangan waktu dan penundaan pengesahan RTRW. Hal tersebut karena adanya syarat penyusunan RTRW, yaitu dalam penyusunan setidaknya ada peran Masyarakat dan kelompok dalam penyampaian aspirasi saat penyusunan RTRW, selain itu kami akan mengajukan revisi dan evaluasi terhadap RANPERDA RTRW yang masih ada di posisi tersebut,” tuturnya.
Meskipun tuntutan yang tercantum dalam pakta integritas ditandatangani oleh pimpinan DPRD dan beberapa fraksi. Terlihat jelas hanya fraksi PDI-P yang tidak menandatangani.