Jember, Agitasi.id – Di balik hiruk pikuk Kabupaten Jember. Ada sebuah tempat peribadatan megah yang tentu untuk mendekatkan diri kepada tuhan yang maha suci. Kelenteg Pai Lien San berdiri di pojok jalan Dusun Karang Asem, Desa Glagahwero, Kecamatan Panti. Konon nama kelenteng itu memiliki makna tentang bunga teratai putih yang tumbuh di atas gunung. Kiasan makna itu mengartikan bahwa sesuatu yang tidak mungkin, harus menjadi mungkin ada, asalkan tetap mau berusaha.
Kelenteng itu telah berdiri sejak 70 tahun-an lalu. Bukan sekadar bangunan ibadah, tetapi di dalamnya memiliki ajaran toleransi yang unik.
“Kalau persisnya, tidak pernah tau ya, karena prasastinya juga nggak terpasang. Cuma kurang lebihnya, itu mungkin umur kelenteng ini sekitar 75 sampai 76 tahun,” kata Hery Nofem Stadiono selaku Ketua Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Pai lien San Jember kepada Agitasi, Selasa (27/05/2025) malam hari.
Ada tiga ajaran agama di dalam Kelenteng Pai Lien San, yaitu Tao, Khonghucu dan Buddha Mahayana, mereka menyebutnya dengan Tri Dharma. Tiga ajaran agama itu melebur menjadi satu dalam kelenteng tersebut.
Ibadah di kelenteng dijalankan setiap tanggal 1 dan 15 sesuai kalender lunar. Lekatnya toleransi telah mengakar kuat pada penganut ajaran Tri Dharma. Bahkan, menghargai ketika ada umat agama lain yang beribadah di dalam kelenteng tersebut.
“Di kelenteng sendiri ini sudah ada tiga agama, bisa berkumpul menjadi satu, makan barsama, sembahyang bersama. Di sini juga ada, yang agama lain masuk di sini, jadi kita juga menerima. Jujur di sini ada orang muslim sembahyang di sini (kelenteng), orang gereja (Kristen) yang sembahyang di sini juga ada,” ujar Hery Nofem Stadiono yang mempunyai nama Mandarin, Jap Swie Liong.
Adapun untuk jumlah kelenteng di Jember ada 4, salah satunya Kelenteng Pai Lien San, yang letak geografisnya tepat berhadap-hadapan dengan masjid. Jarak sedekat itu tidak memicu adanya konflik, justru menjadikannya saling berbagi dan membantu.
Pihak kelenteng, sudah biasa melakukan penghormatan pada agama lain secara bergantian. Jika umat Islam beribadah, maka pihak kelenteng akan menghormati. Begitupun sebaliknya.
“Keberagaman itu membuat semakin nikmat, saya ibaratkan nasi kalau putih saja memang terlihat bagus, namun kalau ditambahi kecap, itu akan membuat semakin nikmat,” kata Hery Nofem Stadiono dengan panggilan Mandarin, Ko Liang.
Tidak hanya kegiatan keagamaan saja, penganut Tri Dharma juga melakukan agenda bakti sosial rutin kepada masyarakat sekitar. Agenda itu setiap 7 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri dengan membagikan sembako, sebagai bentuk penghormatan kepada umat Islam yang telah melaksanakan ibadah Ramadhan.
Adanya agenda tersebut, menandakan bahwa gagasan tentang toleransi tidak hanya sebatas retorika belaka, tetapi sudah selayaknya dipraktikkan secara nyata.
“Toleransi bukan retorika, tapi dijalankan. Karena di kelenteng sendiri itu toleransi itu ditanamkan atau dibentuk dari dalam. Bukan kita mengajak orang mengerti agamaku gitu nggak, justru kita harus mengerti agamanya orang,” ucapnya.
Kontributor: M. Ilyas A.S
Editor: Fadli Raghiel