Bisnis ini terjadi saat Pascasarjana UIN KHAS mempersyaratkan translate abstrak tugas akhir penelitian mahasiswanya dan harus dilakukan melalui UPB. Sebenarnya tujuan awalnya tampak luhur, yakni membantu para mahasiswa akhir yang kesulitan menerjemah abstrak hasil penelitiannya.
Seperti yang diutarakan mantan mahasiswa pascasarja berinisial MW. Ia menganggap hal tersebut cukup membantu bagi mahasiswa yang fakir ilmu bahasa.
“Sebenarnya untuk orang-orang yang faqir bahasa, lumayan membantu. Apalagi kalau sudah dari UPB, penguji tugas akhir tidak menanyakan kesalahan translatenya. Ujian jadi ringan kan”, ujarnya.
Sayangnya, banyak mahasiswa pascasarjana yang juga mengeluh. Translate abstrak yang dilakukan UPB terkesan sebagai bisnis jasa translate. Perlembar atau perbahasa berbiaya Rp. 100.000,-.
“Kita itu harus bayar Rp. 200.000,- untuk abstrak inggris dan Arab. Dengan biaya sebanyak itu, kita sudah dapat abstrak dan stempel dan tentu akan aman saat ujian. Layak kan ini disebut bisnis translate atau kapitalisme perguruan tinggi”, kata mahasiswa pascasarjana berinisial H.
Bahkan beberapa mahasiswa lain, ada yang menganggapnya hasil translatenya juga kurang baik. AK, seorang mahasiswa program magister menjelaskan bahwa beberapa temannya yang merupakan lulusan timur tengah, banyak menemukan kesalahan-kesalahan terjemah.
“Beberapa abstrak, mirip-mirip terjemahan google translate. Jadi, banyak yang tak sesuai dan bisa dikatakan salah. Ini sangat disayangkan, apalagi dimasukkan sebagai syarat resmi ujian dan berbayar. Mestinya, perlu disadari bahwa mahasiswa magister itu banyak yang memiliki kompetensi bahasa. Ada kiai, lora dan lulusan luar negeri yang kemampuan bahasanya unggul. Tak mungkin, gak mampu menterjemah,” tuturnya.
Merespons masalah tersebut, salah satu alumni pascasarjana Jurusan Ekonomi Islam, berinisial MI, mengutarakan bahwa bisnis demikian tak ditemukan saat dirinya masih kuliah dulu. Ia memperkirakan kebijakan tersebut terjadi saat status UIN KHAS naik status menjadi BLU.
“Saya tidak tahu ya. Di era saya dulu tak ada. Mungkin, tapi mungkin lo ya. Efek dari BLU. Bisa saja itu masuk sebagai rencana pendapat kuangan kampus. Tapi belum jelas sih. Karena sepaham saya, kalau masuk rencana BLU, harus terlapor dalam perencanaan keuangan secara global. Coba check saja mas, 100.000 perartikel itu masuk dalam rencana pendapatan kampus, ya itu berarti strategi pengembangan pendapatan resmi. Jika tidak ya masuk pungli mas,” tandasnya.
Bahkan MI juga mensarankan, mestinya pelaksanaan BLU tidak dilakukan melalui bisnis yang membodohkan seperti itu.
“Kan lebih baik menguatkan akreditasi penyedia test Tofl dan Toafl. Atau punya pengembangan program penerjemahan buku asing yang bisa diterbitkan, kan juga bisa jadi sumber pemasukan”, katanya.
Hingga tulisan ini dibuat, crew agitasi.id belum mendapatkan konfirmasi resmi dari lembaga yang bersangkutan.