Oleh: Mashur Imam*
Bagaimana rasanya menjadi mahasiswa di ujung semester akhir? Tentu, hanya orang-orang berpengalaman yang dapat menjawabnya. Mahasiswa dengan usia semester sakratul DO, nasibnya cenderung berat dan menakutkan. Dari saking menakutkannya, don’t try at home, sebab benar-benar adegan berbahaya!.
Hamim dan Na’imur Rohman, dua mahasiswa pascasarjana UIN Kiai Haji Ahmad Shiddiq Jember, yang saat penulis menyusun tulisan ini, mereka berada di ambang batas Drop Out (DO). Pasca dinyatakan lulus ujian akhir (walau masih bersyarat), keduanya mengakui bahwa menjadi mahasiswa dalam kondisi sekarat adalah adegan berbahaya.
Melalui bibirnya, memang tak bisa dirahasiakan senyum semringah pasca beberapa penguji menyatakan bahwa ia telah lulus sebagai magister. Namun, pengalaman menjadi mahasiswa sakratul DO, tampak masih membekas menjadi kenangan pada lipatan-lipatan dahi yang menyuarakan perjalanan psikisnya amat berat.
Lulus dalam usia sakratul DO, tidak lagi membanggakan. Tak seperti jaman orde baru atau awal reformasi dulu. Dulu, mereka yang lulus di akhir semester, umumnya adalah tokoh aktivis yang mengurusi masyarakat dan bangsa. Tidak mengherankan, jika banyak tokoh nasional senior yang sejarah kuliahnya morat-marit. Sebut saja, beberapa di antaranya, ada Mahbub Djunaidi hingga Abdurrahman Wahid. Mereka memiliki riwayat kuliah yang kacau, namun, tak diragukan nasib dan kualitasnya.
Mahbub Djunaidi dinyatakan DO dari kampusnya, namun menjadi penulis yang memiliki kemampuan melampaui jamannya. Begitupun Abdurrahman Wahid, yang akrab dipanggil Gus Dur. Tidak lulus di Universitas Al Azhar Mesir, namun namanya tercatat sebagai salah satu presiden hebat di Indonesia.
Riwayat kuliah dua mahasiswa yang penulis bahas ini, sebenarnya tak sekacau tokoh-tokoh nasional itu. Mestinya, tidak perlu tertekan sebab tidak sampai dinyatakan DO, tak seperti Mahbub dan Gus Dur . Kenapa mereka merasa bernasib berat dan menasihati agar adegan berbahayanya, tidak ditiru? Kondisi ini yang perlu ditelisik lebih serius.
Sakratul DO, Industrialisasi dan Kapitalisasi Pendidikan
Kondisi sakratul DO di era ini, tidak lagi istimewa. Mahasiswa yang berada di ambang batas akhir semester bukan lagi orang-orang yang sibuk mengembangkan dan mengabdikan diri. Pada umumnya, mereka yang lambat menyelesaikan kuliah memiliki alasan kesibukan yang cukup berat.
Sering ditemukan, mahasiwa yang berada pada sakratul DO adalah orang-orang yang sebenarnya telah memiliki pekerjaan dan penghasilan. Keterlambatan studi tentu tidak disebabkan kesibukannya sebagai aktivis, tak seperti zaman dulu. Lelet kuliahnya, lebih dikarenakan mereka telah bergabung dalam dunia kerja yang menuntutnya untuk membagi waktu kerja dan waktu belajar.
Jika tidak bekerja, mereka tidak akan memiliki banyak uang. Jika tidak memiliki banyak uang, biaya kuliah tak akan mampu terpenuhi. Tentu, sekarang jadi jelas, alasan mahasiswa sakratul DO bernasib berat. Mereka disandera dua hal yang menyeramkan, yakni industrialisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Industrialisasi yang berkembang pesat, telah mengunci stigma bahwa pundi-pundi rupiah hanya akan mengalir pada mereka yang “bekerja” bukan yang “belajar”. Situasi ini diperparah dengan kapitalisasi pendidikan yang seolah mempersoalkan jika ada orang miskin yang lulus kuliah.
Akhirnya, bagi yang ingin kuliah juga harus bekerja dan masuk industrialisasi. Dan jika telah masuk arus industrialisasi, mereka dipaksa untuk bekerja sepenuhnya. Situasinya menjadi dilematis, satu sisi perlu serius belajar, di sisi lain, perlu rajin bekerja. Situasi ini yang tarik-menarik mencabik-cabik jiwa para mahasiswa sakratul DO.
Waktu mereka habis karena bekerja, sedangkan usia kuliahnya terus berkurang. Setiap malam, pasti mereka merefleksikan syair Abu Nawas dengan sangat terluka,
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فيِ كُلِّ يَوْمٍ
“dan umurku (usia semesterku) berkurang dalam setiap hari”
Kira-kira demikian tafsir mereka pada syair ini. Industrialisasi telah memarginalkan dan mendesaknya dalam dunia pendidikan. Mereka terus menerus bergerak menuju jurang kerugian yang fatal. Jika lengah sedikit saja, akan terperosok.
Kalau itu terjadi, hasil kerja keras mereka akan percuma. Jika pada akhirnya diDO, pundi-pundi rupiah hasil kerja keras yang dibayarkannya ke kampusnya, akan percuma. Dengan kata lain, bertahun-tahun bekerja keras dan berkontestasi di arus industrialisasi, sungguh tak ada gunanya. Yang tersisa, nyaris hanya keringat dan kenangan jiwa yang tecabik-cabik industri dan kapitalisasi pendidikan.
Sakratul DO dan Perkembangan Ruang Siber
Tidak hanya sibuk bekerja, kondisi sakratul DO kadang juga disebabkan kesibukan leye-leye akibat tekanan ruang siber. Tidak dipungkiri, bahkan banyak penelitian yang menyebutkan bahwa ruang siber memiliki pengaruh buruk pada psikis mahasiswa.
Salah satunya, penelitian Yalcin-Incik berjudul, “Generation Z Students’ Views on Technology in Education: What They Want What They Get”, menyebut bahwa efek kuat pengembangan teknologi ruang siber adalah adanya rasa malas pada para penggunanya.
Gadget melalui mesin android yang memanjakan semua pengguna untuk beraktivitas maya. Perkembangan teknologi tak lagi jadi perekat interaksi dan komunikasi sosial. Keberadaannya tampak semakin memecah masyarakat pada realitas kehidupannya. Teknologi telah menyediakan ruang yang benar-benar disrealitas.
Bahkan tampak sudah menjadi ruang rutinitas yang “benar-benar” maya. Mahasiswa banyak yang terkesima pada ruang tersebut. Apalagi saat ini sudah berkembang game online yang membuat ruang maya semakin eksotis. Kondisi ini yang menurut Yalcin-Incik, dapat membuat kesadaran sosial manusia melemah. Artinya, mereka para mahasiswa menjadi tak peduli pada realitas usia belajarnya.
Setiap aktivitas tentu merupakan “kesibukan”, termasuk bemain game di ruang siber. Aktivitas ruang maya selalu berhadap-hadapan dengan ruang fakta atau realitas. Semakin sibuk dalam ruang game siber, akan semakin lupa pada kondisi sosial yang dihadapinya. Umurnya pun akan dihabiskan dalam ruang-ruang maya yang dianggap eksotis ini.
Para mahasiswa yang berada pada kondisi ini, akan tersandera. Usia semesternya pun akan terus berkurang. Lambat laun, akan masuk pada kondisi sakratul DO. Mereka pun akan terpuruk dan dikoyak-koyak sesal yang menggunung, sebab usia dan biaya semester pendidikannya telah habis percuma di ruang maya.
Refleksi ini yang tampaknya mendorong Hamim dan Na’imurrahman, sebagai mahasiswa pascasarjana semester lapuk, mengaku nasibnya sebagai adegan berbahaya. Tidak heran, jika keduanya berpesan,
“Adegan berbahaya, Jangan lakukan di kampus!! Lulus semester akhir itu berat. Kamu gak akan kuat, biar aku saja”.
*Penulis adalah Founder Dar Al Falasifah dan Sekrtearis Lakpesdam PCNU Jember
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini