AGITASI.ID – Akhir bulan Maret lalu, beredar kabar bahwa Bupati Situbondo menemukan sedikitnya 500 guru ngaji yang terduga palsu. Dugaan ini disampaikan Yusuf Rio Wahyu Prayogo, setelah ia mewakili Pemkab, memberikan insentif kepada 4.433 guru ngaji dengan nominal Rp. 2 Juta.
Berita itu tayang dalam kanal Jawa Pos Radar Situbondo. Bupati dengan sapaan akrab Mas Rio itu menyampaikan, bahwa sebenarnya ada keterlambatan penyaluran insentif, yang diakibatkan verifikasi faktual.
Lantas pada siang 12 Mei 2025, terdengar kabar susulan bahwa Mas Rio menyangkal isu insentif guru ngaji yang tak bakal dicairkan. Kemudian ia mengklarifikasi, bahwa Pemkab sedang memverifikasi ulang data penerimaan insentif guru ngaji.
Bukan maksud menunda, apalagi memberhentikan insentif yang berharga itu. Jelas itu fitnah. Ia hanya berhati-hati, sebab sebelumnya, ada dugaan guru ngaji fiktif yang jumlahnya mencapai rausan. Di balik upaya apresiasi Pemkab Situbondo ini, terselip kisah pilu tentang guru ngaji yang justru terpaksa melepas mushallanya, demi mencukupi kebutuhan hidup.
Tatkala membaca berita melalui ponsel di tangan saya, seketika teringat guru ngaji di kampung. Sudah lama tak melihatnya, sosok yang mengajarkan merdunya lantunan Qur’an dari Alif hingga Ya’ selama puluhan tahun.
Ia tak segan untuk melempar tasbih kayunya yang mirip O-Juzu biksu, terbang melayang ke arah santri yang bermain-main saat ngaji. Darinya, saya belajar cara melantunkan azan subuh yang dipuji tetangga karena merdu.
Genap dua kali lebaran, saya tak sempat meminta maafnya secara langsung. Ia berada di perantauan, tak pulang kampung. Saat lebaran Idul Fitri 2024, ia merantau di Bali. Mencoba peruntungan sebagai penjaga toko kelontong milik orang. Setelah kurang lebih setahun, Ia sudah berada di Sleman Yogyakarta, tetap dengan pekerjaan yang sama, menjaga toko Madura.
Suatu waktu, ia memberi tahu saya tentang pengalamannya, wabil khusus selama merantau. Baginya, menjaga toko Madura akan enak apabila dijaga bersama istri. Adalah benar apa yang disampaikan Habib Husein Ja’far, bahwa toko Madura buka 24 jam, tutup saat kiamat H-setengah hari.
Adapun pasangan suami istri, memudahkan pembagian shift kerja saat menjaga toko Madura. Shift malam cocok dikerjakan si suami, sedangkan untuk siang sebaliknya. Saat siang, guru ngaji saya hanya sekedar membantu saat ramai pembeli, sesekali keluar untuk restock barang.
Sementara sistem gajinya begini; ada yang digaji 10% dari pendapatan kotor harian. Misal, omset toko yang dijaganya sebesar Rp. 3 Juta, maka gajinya istri Rp. 300.000; dibagi jumlah karyawan. Ada juga yang digaji perbulan, sistem gaji yang terakhir ini terbilang tidak enak, rugi tenaga.
Keputusannya meninggalkan desa bukan tanpa alasan. Lantas apa yang mengharuskan ia sampai merantau jauh dari kampung halamannya, melepas murid mushalla yang berguru padanya?
Begini kisahnya, sebagai ustad yang mashur di desa saya, Sumberanyar. Ia memiliki toko kecil, dengan salah satu kamar rumahnya diisi kebutuhan sembako. Selain itu, ia memiliki kebun yang di atasnya tumbuh beberapa pohon pisang.
Aktivitasnya sehari-hari, saat pagi pergi ke pasar untuk kulakan dan mengisi sembako di toko kecilnya. Saat matahari setinggi tombak, biasanya ia melihat kebun, barang kali ada buang pisang mendapat jadwal panen.
Aktivitas itu yang menjadi pundi ia bisa menghidupi keluarganya. Sekarang, dua anaknya menempuh pendidikan di pesantren besar, Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo. Satu anaknya sudah menginjak semester akhir. Sementara si bungsu masih duduk bangku Sekolah Menengah Pertama.
Selain itu, guru ngaji saya sering diundang menghatamkan Al-Qur’an, saat warga desa punya hajatan. Entah yang terakhir itu bisa dihitung pekerjaan atau bukan, karena tak ada bayaran pasti.
Setidaknya setiap diundang hataman, ia pulang membawa berkat. Saya adalah orang yang terbilang sering menikmati berkat yang ia bawa. Karena selain murid terbaik, saya sering ngemper di rumah beliau.
Penghasilan yang tak seberapa, guru ngaji saya dihadapkan dengan kebutuhan belanja rumah tangga yang besar, termasuk biaya pendidikan dua anaknya, yang menjadi alasan kenapa harus merantau.
Utang rumah tangga yang menumpuk, penghasilan dari toko sembako mini dan kebun pisangnya tak lagi mencukupi. Diketahui belakangan, istrinya, yang tak lain adalah bibi saya, adik dari bapak -yang sering berhutang untuk keperluan dapur. Meskipun, hutangnya menumpuk karena kebutuhan rumah tangga.
Semua usaha yang telah ia lakukan tetap tak mampu menutup biaya pendidikan anak dan cicilan utang. Musyawarah keluarga pun digelar. Sungguh, dengan berat hati, setelah bersepakat menyerahkan mushalla kepada keponakannya dan Ghuru Tolang saya pun memutuskan merantau.
Meski saat itu, saya tidak berada di Rumah Situbondo, namun ceritanya terdengar. Sanak keluarga, tetangga dan wali murid melepas kepergiannya dengan linang air mata. Haru-tangis pecah di halaman rumah, mengiringi travel yang menjemput guru ngaji.
Sekarang, saya tidak sedang menuntut hak insentif guru ngaji yang berada di Jogja sana. Setelah mendengar kabar, Mas Rio memberikan insentif guru ngaji, bahagia bercampur sedih sedang saya rasakan.
Ghuru Tolang, yang setiap saya pulang dari pondok, kiai selalu meminta agar salamnya disampaikan. Sekarang berada jauh dari keluarganya.
Ia sedang mencari peruntungan agar dua anaknya merasakan nyamannya ruang kelas. Setidaknya saya senang, takdir yang menimpa guru ngaji saya, minimal tak akan terjadi pada guru ngaji lain di Situbondo.
Ihwal insentif guru ngaji ini, sebenarnya diatur dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Situbondo. Insentif yang sekarang bernominal 2 Juta ini, disalurkan Pemkab melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.
Hanya guru ngaji yang memenuhi persyaratan bisa mendapat haknya, dengan syarat admistratif yang harus dijalani.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi guru ngaji agar dapat insentif, berikut; Pertama, pengantar dari lembaga/kantor kecamatan. Kedua, user dan password pendataan desa dan kecamatan. Ketiga, print-out hasil verifikasi dan validasi guru ngaji yang ada tanda tangan Kades dan Camat setempat. Terakhir, print-out rekap hasil verifikasi dan validasi (verval) desa dan kecamatan untuk pembuatan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Kisah guru ngaji saya dan 500 guru ngaji fiktif adalah cermin dari persoalan yang perlu diatasi sampai ke akarnya. Di satu sisi, verifikasi penting untuk mencegah penyalahgunaan dana.
Di sisi lain, birokrasi yang berbelit bisa mengorbankan mereka yang paling berhak menerimanya. Solusinya mungkin terletak pada pendekatan partisipatif.
Pemkab bisa melibatkan tokoh agama dan kader desa dalam pendataan, atau menyederhanakan syarat bagi guru ngaji yang telah diakui masyarakat. Transparansi proses verifikasi juga perlu ditingkatkan agar bisa meminimalisir risiko.
Patennang!!!
Penulis: M. Riyadi
Editor: Fadli Raghiel