JEMBER, AGITASI.ID – Pencemaran lingkungan yang disebabkan karena limbah tambak udang vaname di Desa Kepanjen dan Mayangan, Kecamatan Gumukmas menuai polemik cukup serius. Selain pencemaran yang berujung lahan pertanian tidak dapat ditanami lagi, terkait perizinan tambak tersebut juga masih belum jelas.
Sebelumnya Ketua Kelompok Perjuangan Masyarakat Kepanjen (KPMK) Arif Sukoco bersama masyarakat Kepanjen dan Mayangan, telah menyampaikan tuntutannya kepada DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember untuk segera menutup tambak udang vaname, pada Senin siang, 24 Februari 2025.
Tuntutan yang ditemui oleh Wakil Ketua DPRD Jember Widarto, akan menindaklanjutinya setelah melakukan sidak di lapangan.
Lebih lanjut, Arif Sukoco menerima wawancara dari crew Agitasi, melalui pesan WhatsApp di malam harinya.
Ada berapa tambak udang yang sudah beroperasi di Kepanjen, baik yang memiliki izin dan tidak memiliki izin?
Kami juga tadi kaget pas waktu mendengar penjelasan dari Dinas Penanaman Modal, itu kurang lebih ada sekitar 60. Dan dari DPRD pun tadi juga menjelaskan, bahwasanya penjelasan itu masih belum jelas. Dalam arti keterangannya belum fix.
Namun, yang membuat kita kaget itu, informasinya tadi dari Dinas Penanaman Modal, kok hampir sampai semua tambak itu berizin di situ, itu yang bikin kita kaget. Dan luar biasanya lagi, izin itu ternyata bisa diurusi secara online.
Terkait masalah izin, itu kan jelas pesisir sempadan pantai, itu kan sebenarnya tidak boleh dibuat bangunan. Terus tata ruangnya atau RTRW. Kalau kita mau melihat RTRWnya, itu kan sebenarnya kan itu untuk apa. Jadi lucunya di Jember itu izin dikeluarkan dulu, baru tata ruangnya mengikuti, seharusnya kan tidak seperti itu.
Dan tambak tersebut, meskipun mempunyai izin, dan katanya punya IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sebagainya. Namun, limbahnya itu dikeluarkan atau keluar tanpa ada filter.
Dalam arti, memang dampaknya sangat luar biasa. Contohnya, tanaman di Kepanjen dan Mayangan itu hampir 150 hektar itu yang terkena terdampak, tidak bisa ditanami lahan tersebut.
Tambak Udang Vaname mencemari lingkungan sejak kapan?
Jadi, tambak atau investor tambak udang tersebut itu masuk ke daerah Kepanjen dan Mayangan itu sekitar tahun 1985, habis itu proyek. Produksi mulai tahun 1987, lah itu khususnya tanaman padi itu Mayangan dan Kepajen itu mulai menurun, terus menurun hingga sekarang itu tidak bisa ditanami padi.
Karena apa, karena limbahnya sudah dibuang ke sungai. Dan sungai tersebut itu sebenarnya, sungai air tawar yang peruntukkannya, untuk pertanian.
Dan awalnya dulu, sebelum 1985, hasil padi yang ada di Kepanjen dan Mayangan itu luar biasa, hasilnya juga luar biasa, pokok istimewa hasil pertanian. Perlahan waktu, limbah tersebut membuang di sungai, akhirnya terkontaminasi, sedikit demi sedikit, sungai tersebut menjadi asin rasanya.
Kadar garamnya terlalu tinggi, untuk tanaman padi, sehingga saat ini tanaman padi itu tidak bisa hidup. Jadi kadar air yang sekarang seperti itu.
Adakah warga yang bekerja di tambak udang tersebut?
Mayoritas yang bekerja di tambak udang tersebut, justru bukan warga Kepanjen atau pun bukan warga Mayangan.
Kalaupun ada mungkin 10 dibanding 1, kebanyakan itu ngambil dari luar Mayangan dan Kepanjen. Dan itu juga diperkuatkan oleh beberapa teman yang kerja di tambak.
Selama ini sebelum mendatangi DPRD dan Pemkab Jember, upaya apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Kepanjen?
Jadi, kita melakukan di DPRD itu, mungkin sudah yang ke tiga kalinya ini. Kalau di tingkatan kecamatan, sudah sering. Namun hasilnya juga, tidak mendapatkan hasil apa-apa. Kalau tanggapan ada, namun tidak ada tindakan, kan percuma. Ketika ditanggapi saja, namun tidak ada tindakan.
Bahkan sampai sekarang, masyarakat itu tidak mau lagi, ketika ada rapat koordinasi terkait masalah limbah itu di tingkat kecamatan. Karena sudah tidak percaya, mulai dari tingkat desa sampai kecamatan, bahkan sampai kabupaten.
Waktu zamannya Bupati H. Hendy, kita juga sudah pernah melakukan audiensi. Namun, mendapatkan kesepakatan. Namun, ya, berubah lagi kesepakatan tersebut. Kesepakatan pada akhirnya, ke makan hari, bulan, tahun, akhirnya kembali lagi, sampai tiga kali yang kali ini.
Makanya masyarakat juga bingung. Kalau misalkan mungkin pengrusakan terkait bangunan tambak itu, mungkin ini tidak ada hukum, mungkin sudah dirusak sama masyarakat. Karena ada kaitannya hukum, pengerusakan bisa dipidanakan, mungkin dari situlah, masyarakat ini sadar.
Namun, justru yang dari pemerintah yang tidak sadar. Dalam arti, pemerintah ini tidak sadarnya, tidak bisa mengerti dan mengetahui, tidak mau memahami berapa kerugian masyarakat.
Itu sudah luar biasa ruginya, kalau masyarakat mau minta ganti. Ambillah dalam satu hektar itu per tahun, misalkan 5 juta. Nah sekarang sudah 40 tahun, bayangkan. Dan itu hampir 200 hektar. Kira-kira mampu apa tidak, pihak tambak ini mengganti rugi, karena dampak yang sudah dilakukan, kan tidak. Saya yakin, tidak mampu.
Bagaimana tanggapan Kepala Desa melihat adanya tambak tersebut?
Kalau kepala desanya tidak menanggapi, justru tambah senang. Karena mungkin, indikasi kami, dugaan kami itu sudah mendapatkan fee. Loh, ketika masyarakat tadi Mayangan dan Kepanjen ada pergerakan seperti itu, kepala desanya tidak ada respon, tidak pernah tanya ke kami. Itulah Kepala Desa Kepanjen, itu sudah turun temurun.
Ada beberapa periode, berganti berapa kali itu kepala desa, ya, begitu. Namun, indikasi kami bocor. Dalam arti bocor, sudah kena uang dia. Itulah makanya, sampai detik sekarang tidak ada tindakan, tidak ada reaksi.
Jadi, menurut kami ini memang menjadi sebuah keuntungan untuk kepala desa, keuntungan pribadi oleh oknum kepala desa. Nyatanya memang seperti itu, sampai gejolak ramai di kabupaten, di DPRD, tidak ada pertanyaan. Bahkan kita berangkat (ke DPRD dan Pemkab) itu lewat depannya balai desa. Tidak ada dari semua perangkat desa yang sempet tanya, bahkan telfon.
Nah, ini ironisnya di situ, seorang kepala desa, warganya punya masalah yang luar biasa. Namun, memang gaya buta, tuli, bisu sudah menjadi hal biasa dan tidak kaget buat kami. Makanya, kita melangkah ke sana (DPRD dan Pemkab Jember), karena kita sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah desa yang sekarang kaitannya dengan tambak tersebut.