Dulu Mahasiswa Kuat Robohkan Orba! Sekarang, Hadapi Kuasa Kampus Saja Gemetaran

Dulu Mahasiswa Dulu Kuat Robohkan Orba! Sekarang, Hadapi Kuasa Kampus Saja Gemetaran
Ilustrasi Dulu Mahasiswa Dulu Kuat Robohkan Orba! Sekarang, Hadapi Kuasa Kampus Saja Gemetaran (Sumber: Grafis/Agitasi.id)

Oleh: Sajad Khawarismi M.M.*

Agitasi.id- Mahasiswa merupakan bagian dari salah satu komponen vital dalam ruang ekosistem pendidikan perguruan tinggi. Dalam kampus, mereka bukan lagi pelajar biasa, namun telah memiliki peran sebagai agen perubahan. Mestinya, dapat mempengaruhi arah kebijakan dan pembangunan tempat belajarnya. Tugasnya tidak hanya merapal materi ilmu, namun bertanggung jawab pada setiap ketangkasan otak yang dimilikinya.

Bacaan Lainnya

Hampir dipastikan seluruh mahasiswa ada pada usia matang. Mestinya, mereka bukan lagi pemuda kecil yang hanya mau diasuh dan menunggu pelayanan saja. Sigmund Freud mengelompokkan manusia seusia mereka sebagai kondisi kematangan mental dan seksualitas yang sempurna. Artinya, mereka mestinya telah mampu ikut serta menjadi aktor penyeimbang kehidupan sosial kampusnya.

Historia Gerakan Mahasiswa, Pencipta Gerbang Era Reformasi

Padahal sejak lama, mahasiswa telah menjadi motor penggerak dan komando dalam merubah tatanan sosial, sehingga dapat menghasilkan dalam berbagai perubahan signifikan di kampus. Gerakan mahasiswa di berbagai negara telah berhasil mempengaruhi kebijakan pendidikan, mendesak perubahan dalam struktur administrasi kampus, dan memperjuangkan hak-hak mahasiswa. Partisipasi aktifnya tidak hanya memperkaya kehidupan kampus, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan.

Di Indonesia, gerakan mahasiswa pada tahun 1998 menjadi salah satu faktor kunci dalam runtuhnya rezim Orde Baru. Gerakan Reformasi 1998 menjadi puncak dari perlawanan mahasiswa terhadap rezim otoriter Soeharto. Dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1990-an, serta ketidakpuasan yang meluas terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela di pemerintahan, mahasiswa di seluruh Indonesia bangkit dan menyatukan kekuatan mereka untuk menuntut reformasi total. Gelombang protes yang diorganisir oleh mahasiswa akhirnya memaksa Soeharto mengundurkan diri setelah lebih dari 30 tahun berkuasa.

Historia peristiwa demikian menunjukkan betapa kuat dan tangguhnya suara mereka ketika bersatu melawan keotoriteran dan represifitas penguasa. Di era itu, tentu bukan hanya berani pada negara, para mahasiswa juga aktif menyuarakan pendapat untuk mendorong reformasi kebijakan yang lebih inklusif dan demokratis internal kampusnya. Yang pada gilirannya, menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif.

Sekarang, Hadapi Kuasa Kampus Saja Gemetaran

Pada konteks ini, semakin penting ketika berbicara hubungan mahasiswa dengan otoritas kampus, yang mencakup aspek-aspek seperti kebijakan akademik berupa kurikulum serta kesesuaian kapasitas dan kapabilitas seorang pendidik (dosen) kepada orang yang dididik (mahasiswa), tata kelola fasilitas untuk menunjang kebutuhan mahasiswa, dan lingkungan kenyamanan belajar. Dalam realitas dan praktiknya, ternyata mahasiswa sering kali dihadapkan pada dilema ketakutan bahkan gemetaran, hanya untuk mengutarakan pendapatnya. Banyak mahasiswa penuh kekhawatiran untuk terlibat dalam proses perbaikan lingkungan kampus.

Salah satu alasannya, kampusnya dianggap telah lebih otoriter dari pemerintah orde baru. Ruang dialektika dan tabayun antara pimpinan kampus dan mahasiswa telah tertutup. Hal ini mencerminkan adanya hambatan serius dalam komunikasi dan interaksi yang seharusnya transparan dan dinamis.

Padahal dalam konteks perguruan tinggi, dialektika, atau proses berdiskusi untuk saling memahami dan mengevaluasi ide-ide yang berbeda, merupakan fondasi penting untuk menciptakan lingkungan akademik yang kritis dan produktif. Demikian pula, tabayun, utamanya dalam Perguruan Tinggi Islam. Tradisi ini merujuk pada proses mencari klarifikasi atau kebenaran, sangat penting dalam memastikan bahwa semua pihak memiliki pemahaman yang benar dan adil sebelum mengambil keputusan.

Ketika ruang-ruang tersebut tertutup, maka mahasiswa kehilangan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau saran kepada pimpinan kampus yang terhormat secara langsung dan transparan. Ini tidak hanya menghalangi tercapainya kesepahaman, tetapi juga dapat menimbulkan rasa ketidakpercayaan serta sikap apatis mahasiswa. Sehingga dikemudian hari besar kemungkinan mereka (mahasiswa) merasa diabaikan, tidak dianggap penting, atau bahkan terdiskriminasi.

Lebih jauh lagi, tertutupnya ruang ini juga berpotensi menghambat inovasi dan perbaikan yang bisa datang dari dialog yang konstruktif antara mahasiswa dan pimpinan kampus. Banyak ide dan solusi kreatif yang mungkin muncul dari interaksi yang terbuka dan jujur. Sayangnya, tidak dapat terealisasi jika komunikasi terhambat. Demikianlah, jenis kampus yang telah mendesain pendidikannya untuk mahasiswa bermental bocah penakut.

Kampus Yang Mengkerdilkan

Salah satu dilema utama yang dihadapi oleh mahasiswa adalah ketakutan akan konsekuensi dari tindakan mereka. Ketika seorang mahasiswa memutuskan untuk berbicara lantang mengenai isu-isu sensitif, seperti kebijakan yang dianggap tidak adil atau tindakan represifdari pihak kampus, mereka sering kali dihadapkan pada ancaman atau intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketakutan ini dapat berasal dari kekhawatiran menghadapi ancaman dikeluarkan dari program studi, kehilangan beasiswa, atau mendapatkan nilai buruk.

Selain itu, mahasiswa sering kali merasa kurang memiliki pengetahuan atau informasi yang cukup untuk menyuarakan pendapat mereka dengan percaya diri. Kurangnya akses terhadap informasi yang transparan dari pihak kampus, serta proses hegemoni pimpinan kampus yang luwes, cenderung memiliki akal cerdik dan main apik dapat membutakan dan menutup keburukan kebijakan dari otoritas kampus.

Otoritas kampus mereka telah melahirkan pendidikan yang fatal. Terlihat tak transparan, adil, dan responsif terhadap kebutuhan seluruh anggota komunitas kampus, termasuk para mahasiswa. Untuk mencapai otoritas semacam ini, mahasiswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan. Kematangan psikologi mereka telah dilemahkan dengan ditutupnya akses untuk berpartisipasi dalam pengawasan dan evaluasi implementasi kebijakan kampus.

Anehnya lagi, mahasiswa yang sadar bahwa kondisi psikisnya dikerdilkan hanya dapat dihitung jari. Kebanyakan hanya bergerak, jika kondisi telah darurat. Padahal semua kedaruratan selalu bersumber dari masalah kecil yang tak disadari.

* Jurnalis Alienasi Dan Anggota Mahasiswa Luar Tagar (EX#), Universitas Islam Negeri Kiai Haji Ahmad Siddiq Jember

Baca Juga :  ALASAN MAHASISWA TIDAK SEGERA LULUS KULIAH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *