YOGYAKARTA, AGITASI.ID – Film dokumenter pertama yang diproduksi oleh Ekspedisi Indonesia Baru (EIB) ini, baru saja ditayangkan di pendopo GUSDURian Bantul, DIY (22/7). Tidak ingin mengulas panjang tentang film, namun lagi-lagi yang menarik adalah catatan diskusinya.
Diskusi ini dinarasumberi oleh kedua inisiator EIB: Dandy Dwi Laksono dan Farid Gaban, serta dibarengi oleh Banning Prihatmoko, seorang peneliti pangan, pertanian, dan lingkungan.
Pertanian adalah hal yang paling kompleks untuk menjadi bahan diskusi, mulai dari perbincangan mengenai lahan, proses pemasaran, efektivitas produksi, sampai dengan ke pembahasan sains hingga microbiology.
Perbincangan diawali oleh Banning, Ia memulai dengan memaparkan bahwa dunia pertanian hari ini dipengaruhi oleh tiga habitat besar yang selalu berhubungan dan berkaitan erat satu sama lain, yaitu relasinya dengan alam yang terusan berubah, pengaruh sistem sosial, ekonomi, dan politik, serta dominasi teknologi. Lalu Ia melanjutkannya dengan mengulas sejarah Revolusi Hijau sejak tahun 1940-an yang diinisiasi Norman Borlaug, pakar agronomi asal Meksiko, yang jelas mempengaruhi kondisi pertanian sampai hari ini.
Revolusi hijau bertujuan awal untuk meningkatkan produktivitas pangan dengan menggantikan cara pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Revolusi ini juga mampu spontan mengatasi kelaparan di berbagai belahan dunia. Termasuk Indonesia pula yang mulai menerapkannya sejak masa orde baru, melalui BIMAS (Bimbingan Masal) dan Panca Usaha Tani. Saat itu, petani Indonesia mulai digembleng untuk menggunakan bubit unggul, pemberantasan hama penyakit, pemumukan, pengairan, dan perbaikan cocok tanam. Program ini lalu berkembang menjadi INMAS (Intensifkasi Masal) yang disertai kebijakan subsidi bibit unggul, pupuk, pestisida, dan teknologi lain yang mendukung pertanian agar makin legit berproduksi. Saat itu pula Indonesia mampu swasembada beras.
Banning menambahi, Bahwa semenjak tahun itu, negara selalu bermimpi untuk memberi makan, namun peralihan yang terjadi justru semakin buruk. Kepunahan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, degradasi ekosistem, hingga ketergantungan petani terhadap bahan kimia yang semakin menjadi. Lebih-lebih semakin menjauhkan manusia dengan alam.
Ia juga sempat menjelaskan, semenjak Indonesia bergabung dengan WTO (World Trade Organization); sebuah organisasi yang mengatur perdagangan Internasional, kran ekspor-impor dunia pertanian Indonesia dibuka seluas-luasnya. Dan saat beberapa pernjanjian anggota WTO terbentuk (1995), Indonesia termasuk negara yang dijamin keamanan serta kemudahannya dalam menjalani kegiatan ekspor impornya. Namun hingga hari ini, justru dampak buruk mulai terasakan, Indonesia adalah negara yang masih jauh dari “Daulat Pangan.”
Dalam aspek ekonomi, tak heran, karena Indonesia selalu ingin pertumbuhan dilalui dengan cepat melalui perdagangan internasional. Percepatan ini dapat dilalui dengan mempercepat waktu produksi pertanian, dan semakin cepat produksi yang dihasilkan, maka semakin cepat pula ekspor yang dilakukan.
Tak sampai disini, Banning juga menyatakan bahwa dunia pertanian selalu dipaksa untuk terus bertahan meskipun selalu dalam cengkraman. “Schout mengibaratkannya seperti seorang yang sedang tenggelam, namun harus dipastikan kalo kepalanya di atas air. Van der pol juga sepakat, bahwa para petani makin hari makin terhuyung, dipaksa hanyut dalam arus perubahan, dan tetap dipaksa untuk menjaga keseimbangan.”
Dalam kontes perebutan ruang hidup pula, pertanian selalu tersingkirkan. Kontestasi antara ekonomi dan ekologi, negara selalu memprioritaskan ekonomi, maka tak heran, jika banyak lahan pertanian yang dialihkan menjadi tambang. Begitupun dengan perkebunan industrial, yang selalu berhasil memberangus pertanian adat/tradisional.
Beralih pada pernyataan Dandhy yang tak jauh berbeda, Ia mengawalinya dengan pernyataan jika Indonesia sampai hari ini tidak pernah punya grand design dalam dunia pertanian, kedaulatan dan ketahanan pangan. Segala kebijakan yang dimunculkan selalu reaktif.
Ia menyampaikan juga bahwa film dokumenter dengan durasi 73 menit ini masih jauh dari kompleksitas masalah pertanian nasional. Tapi minimal, ini adalah kick off untuk memulai perdebatan yang cukup serius nantinya. Dengan tema fundamental urusan perut demikian, nanti akan terungkap landscape masalah yang begitu luas, mulai dari persoalan agraria, pengorganisasian, kebijakan, hingga jomplangnya sistem pemasaran.
Dandhy sempat pula mengulas soal Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024, salah satunya adalah Food Estate. Program yang bertujuan untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia ini justru lucu, sawah-sawah baru dicetak langsung oleh tentara, dengan training untuk mengoperasikan tracktor selama seminggu, meraka ditarget 500 hektare per harinya. Ia menambahkan juga “Kalo lahan yang dikelola para petani turunan yang sudah ahli saja bisa rugi, apalagi tentara yang hanya dibekali training seminggu, tapi mungkin itu job plus bagi para jenderal.”
Farid Gaban menambahinya dengan mengungkap wacana alternatif untuk melawan arus utama sistem ekonomi-sosial yang semakin memperburuk dunia pertanian.
Ia mengawali dengan memaparkan The Blue Economy; sebuah teori ekonomi yang menerapkan logika ekosistem pada tiap lakunya. Teori yang diperkenalkan sejak tahun 2010 oleh Gunter Pauli (ilmuan asal Belgia) ini, memaknai blue yang dimaksud adalah bumi, dengan dilandasi oleh tiga prinsip utamanya: bertumpu pada keanekaragaman hayati, kembali dan melek pada potensi lokal, serta tidak menaifkan unsur sains dan teknologi yang tepat guna.
Farid berupaya mengembangkan dan menawarkan sistem koperasi pertanian yang berdaulat, tentu tanpa bernaung di bawah rezim sertifikasi bahan-bahan organik. Berbeda dengan 90 lebih koperasi yang ada di Indonesia yang hanya simpan pinjam, koperasi yang digagasnya justru tetap menekankan pada prinsip gotong royong.
Dalam pengelolaannya, kebersamaan petani sangat diperlukan. Karena wajib berbeda dengan koperasi tani yang dibentuk pemerintah, yang para anggotanya hanya hadir saat ada bantuan, dan hilang serta bekerja keras sendiri setelahnya.
Di dalamnya juga wajib ada proses produksi hingga pemasaran yang benar saling menguntungkan bagi anggota. Petani juta wajib berani untuk memulai mengolah sendiri hasil pertaniannya.
Hal yang harus benar ditekankan dalam usaha ini, tidak bukan adalah prinsip-prinsip awalnya; bahwa segala hal yang dilakukan wajib memperhatikan kesehatan dan keberlangsungan alam, peralihan bahan tani dari kimia menuju organik, serta gotong royong yang berkelanjutan dan terus menerus.
Gambaran general wacana alternatif ini, berbeda dengan koperasi seperti biasanya yang hanya bicara keuntungan besar, namun kesejahteraan anggota lah tujuannya. (*)