AGITASI.ID – Polarisasi politik ialah fenomena yang tak mungkin terlepas di setiap sejarah pesta demokrasi. Sering diwarnai dengan berbagai macam perbedaan, entah dalam bentuk pilihan, pendapat, atau bahkan langkah untuk menanamkan ideologi berbasis peralatan agama yang seakan paling ampuh untuk legitimasi dalam memenangkan kelompok capres dan cawapres.
Penyebab terjadinya, didasari oleh perbedaan kerangka ideologi masing-masing partai. Targetnya adalah demi kesejahteraan partai mereka sendiri. Dampaknya, perbedaan terus terjadi secara ekstrem dan sulit untuk melahirkan konsensus untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya perjuangan politik berbalik menjadi hanya orientasi pencapaian kesejahteraan masing-masing partai yang berkontestasi.
Contoh kecilnya, kerangka ideologi yang membagi sekte-sekte kaum nasionalis dan kaum agama. Seperti apa yang disampaikan di awal, instrumen agama menjadi hal yang paling ampuh dalam mengusung partai politik demi satu suara kemenangannya.
Untuk menghadapi hal demikian, kembali lagi kepada hak dan kecerdasan kita dalam menganalisis kerangka ideologi yang mereka usung. Secara epistemik adalah apakah agama sebagai cara untuk merawat politik di Indonesia ? Atau agama hanya sebagai alat untuk kemenangan politik di Indonesia.
Berbicara tentang ideologi, tidak akan lepas dari berbagai kepentingan yang sudah menjadi target di kala mereka meraih mahkota kemenangan demokrasi. Karena targetnya adalah kepentingan partai politik dan kelompok sendiri. Saat menang, mayoritas mereka memiliki hasrat untuk melanggengkan kekuasaan yang didapatkannya.
Tidak mengherankan jika baru-baru ini, demokrasi cacat oleh dinasti pemenang kuasa terdahulu. Berat rasanya di saat membahas kaum elit politik, sebut saja mereka sebagai wakil rakyat yang mewakili, dan atau seluruh kepala jawatan yang berkesempatan berkuasa.
Pada proses pergantiannya, mereka hanya berpikir untuk terus menang. Tidak berpikir, bagaimana menyisahkan hal baik untuk rakyat. Terus terobsesi pada kepentingan kelompoknya sendiri.
Kondisi panggung politik terkini Indonesia menyuguhkan akrobat yang tak lagi indah. Membuat para penonton tegang dan mudah untuk percaya. Kepercayaannya compang-camping diserang post truth sosial media.
Sebagai contoh dapat kita lihat di media sosial. Begitu mudahnya menghujat, menyalahkan, menuduh sesat, perlu dipertanyakan kelembagaannya, bahkan menyebar kabar hoaks sudah menjadi hal yang biasa. Hal tersebut juga dilakukan oleh para elite dalam berbagai talkshow dan kampanye yang diselenggarakan.
Jika melihat fenomena di atas, politik sangat jauh dari rasa orientasi besarnya. Kita dapat melihat fenomena teman karib yang rusak karena beda kelompok kepentingan. Padahal seharusnya politik merupakan alat untuk menghamba pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan.
Meminjam pendapat Aristoteles, bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana. Imam Al-ghazali pun demikian di dalam kitab ihya’ ulumuddinnya. Beliau menjelaskan bahwa peran politik adalah paling mulia di saat benar-benar menghamba kepada rakyatnya.
Ada empat kriteria kewajiban pemimpin, agar politik tetap menjadi jalan pengupayaan kesejahteraan rakyat. Pemimpin politik mestinya memberikan layanan lahir dan batin kepada rakyat. Ini dapat diperankan oleh bersatunya dan jelasnya kerja aktor parpol dengan para ulama.
Mereka pada anggota partai berperan sebagai inovator layanan kesejahteraan lahir. Sedangkan ulama’ mestinya diarahkan untuk layanan batin rakyat.
Jika masuknya ulama’ dalam politik, malah berperan senada dengan anggota parpol, yakni juga cawe-cawe dalam program politik, tentu akan naas. Para ulama’ kehilangan kompetensi layanan batinnya. Sedangkan para politisi juga akan memaksa dirinya menjadi ulama’.
Pada titik inilah, tidak ada satu pun, yang dapat diandalkan untuk memecah masalah krisis politik yang terjadi. Utamanya, krisis batin rakyat pada gerak politik saat ini.
Melalui tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa relasi para aktor politik dan seluruh tokoh yang ikut berkonstestasi, mestinya lebih melek pada orientasi holistis politik. Semua aktor yang terlibat mesti membagi porsi peran dengan berdasarkan pencapaian kesejahteraan bersama.
Polarisasi dalam kontestasi politik, lumrah terjadi. Hanya saja, jika dalam menjalankan kekuasaan tidak menghormati dan lupa diri dalam memberikan layanan pada rakyat, buat apa harus berpolitik. Masuknya agamawan, mestinya menjadi pendingin batin rakyat yang sedang gelisah. Bukan malah menguatkan polarisasi politik yang tidak sehat.