Reformulasi dan Reorientasi Arah Gerakan kader PMII

17 April 1960 adalah kelahiran sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus dengan latar belakang kultur Nahdlatul Ulama’ (NU) yang secara tegas menjaga dan melestarikan ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah. Organisasi tersebut kemudian lahir dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia “PMII” di kota pahlawan, Surabaya.

Sehari sebelumnya, mahasiswa NU melakukan musyawarah di Surabaya, yaitu pada tangggal 14-16 April 1960 yang melahirkan kesepakatan untuk memberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) serta menyusun peraturan dasar PMII yang mulai berlaku pada 17 April 1960. Tanggal inilah yang kemudian digunakan sebagai peringatan hari lahir organisasi tersebut. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang menggunakan ideologi Ahlu sunnah wal jamaah sebagai doktrin dalam organisasi.

Bacaan Lainnya

Kelahirannya bukan tanpa sebab, berdirinya PMII dilatar belakangi oleh kobaran semangat mahasiswa NU dalam rangka menyelesaikan carut-marutnya situasi politik kala itu. Di satu sisi di awal pendirian PMII sebagian besar programnya juga berorientasi politik. Hal ini karena PMII lahir dari rahim Nahdlatukl Ulama’ (NU) yang merupakan partai politik sehinga di awal kelahirannya dijadikan alat untuk memperkuat partai NU.

Pada saat itu, rezim Orde baru menggunakan kekuasaan poitik sebagai resonansi dalam kebijakannya, sehinga PMII yang merupakan bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik. Kondisi tersebut hampir mirip dengan kondisi di era modern sekarang ini yang juga menjadi tantangan tersendiri bagi PMII.

Sejarah mencatat, bahwa gerakan PMII berpihak kepada masyarakat. Ia selalu berdiri tegak di depan pintu penguasa, merapatkan barisan dan berteriak lantang dalam menyuarakan hak-hak masyarakat. Isu-isu yang dikawal pun beragam. Gerakan sosio-politik dalam menyampaikan aspirasi masyarakat serta kritik yang dilayangkan terhadap tirani mesti dilakukan secara efektif. Isu-isu mendasar seperti HAM, demokratisasi dan keadilan menjadi kajian yang masif dan intensif yang dilakukan di dalam kampus maupun di ruang-ruang diskusi lainnya. Artinya, hal ini juga menjadi penegasan bahwa PMII menjalankan politik nilai (moral) dan bukan politik kekuasaan. Politik nilai yang dimaksud ialah memperjuangkan kemanusiaan, kejujuran, keadilan, kebenaran, kesetaraan serta bela negara. Tentu saja, PMII adalah sosok gerakan yang disegani, baik lawan maupun kawan. Dan sekali lagi, PMII bukan atau tidak boleh menjadi “gerbong politik” yang akan dijadikan batu loncatan bagi yang hendak mencari keuntungan pribadi. PMII selalu menjadi mitra kritis pemerintahan.

PMII dan Pergumulan Intelektual

Salah satu agenda besar PMII adalah menjadikan para setiap kadernya berkualitas dan ini sangat erat kaitanya dengan intelektualitas. Penguatan basis intelektual-akademis adalah perihal mendasar dan urgen dalam rangka memperkuat identitas dan institusi. Tri motto: Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh yang selalu terpampang dalam setiap baner-baner kegiatan seremonial-formal dan pamflet yang bertebaran bukan hanya sekedar pemanis pemandangan. Tapi itu mempertegas posisi bahwa kader PMII harus bergulat dengan intelektual.

Penguatan intelektual sebagai upaya untuk mencerahkan kader agar mampu berfikir, bersikap dan bertindak kritis terhadap setiap ketimpangan yang ada dalam lingkungan sekitar mulai dari masyarakat sampai Negara. Semakin banyak kader yang berkualitas akan semakin memperjelas bergainning kader secara internal-eksternal. Upaya yang dapat dilakukan dalam memperkuat intelektual kader adalah dengan memperkuat sistem kaderisasi, karena sistem kaderisasi yang baik diharapkan dapat menghasilkan kader-kader yang berkualitas dan mempunyai bergainning position baik secara internal maupun eksternal.

Baca Juga :  MARKETPLACE GURU? GIMANA SIH?

Di samping hal itu, sebagai organisasi terbesar, PMII harus menjadi sentrum gerakan-intelektual. Bahwa dengan kekuatan massanya, PMII harus mampu menunjukan kelayakan untuk diperhitungkan di luar, terlebih lagi dalam upaya transformasi wacana dan pemberdayaan masyarakat. Tentu akan menjadi kontra-produktif apabila dengan modal massanya yang begitu besar ternyata tidak mampu melakukan aksional yang kentara. Atau minimalnya, ada sesuatu gerakan yang cukup menunjukan ciri khusus dibandingkan dengan organisasi lainnya.

Dalam usia yang ke 60 tahun secara psikologis sudah dianggap dewasa, PMII diharapkan tidak menempati dan meletakkan posisinya di ruang absurd. PMII diharapkan mengisi pos-pos strategis dalam mengawal negara tercinta ini untuk menuju yang lebih baik. Tentu saja PMII harus menyediakan SDM (Sumber Daya Manusia) yang expert dibidangnya dan sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan zaman.

Di usia yang sudah matang ini tentu banyak tantangan yang di hadapi serta beragam di setiap zaman. Maka PMII mau tidak mau harus mereformulasi program atau kerja-kerja kaderisasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Meskipun sebagian besar kader atau anak muda PMII berangkat dari suasana “pinggir”, namun kegandrungannya dalam mengkonsumsi pemikiran Islam “kiri” seperti Hassan Hanafi, Ali Asghar Angineer, Arkoun, Hegel, Habermas, Marx dkk merupakan bacaan yang menjadi rujukan para aktivis PMII.

Dalam kondisi seperti ini mereka merasakan kedewasaan dalam peminggiran sehingga menimbulkan radikalisasi dalam pemikiran. Atau dalam istilah Nakamura lebih populer dengan sebutan Tradisionalisme-Radikal. Itu artinya, mau tidak mau di era zaman yang kian pesat seperti sekarang PMII harus menyuplay dan mencetak kader-kader yang berkualitas untuk dihibahkan ke negara. Kader PMII bukan hanya cadangan masyarakat, tapi juga cadangan pemerintah.

PMII yang setiap tahun menggelar perekrutan, melakukan penguatan ideologi terhadap kader merupakan modal sekaligus menjadi tantangan besar. Di zaman yang semakin berubah, sudah saatnya orientasi gerakan PMII juga berubah. Dari sudut pandang normatif ke transformatif, dari sudut pandang lama ke sudut pandang baru dan dari patron perilaku yang bersifat sektarianisme menuju pluralisme. Hal ini perlu diupayakan untuk menyiapkan para pemimpin di masa depan dalam menjawab kebutuhan zaman. Tentu diperlukan adanya kajian yang masif dan terstruktur mulai dari tingkat pengurus besar (pusat) hingga tingkat paling dasar yaitu rayon.

PMII juga perlu melakukan dan sudah sepatutnya mencari paradigma yang dirumuskan melalui forum tertinggi seperti kongres, yang sekiranya bisa diterima di kampus-kampus “sekuler”. PMII juga perlu mencari rumusan baru tentang keislaman dan keindonesian yang bisa menarik minat mahasiswa-mahasiswa kampus sekuler untuk menjadi bagian dari organisasi ini. Tentu ini bukan hal yang mudah. Tapi inilah salah satu tantangannya selain menguatnya politik identitas. PMII harus berhasil dan mampu menyajikan penafsiran keislaman yang sesuai dengan yang diperlukan masyarakat urban sehingga bisa diterima oleh kampus-kampus populer.

PMII 60 tahun yang lalu, merupakan sosok yang menjadi garda terdepan dalam mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan ketika ordonansi ataupun kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat. PMII 60 tahun yang lalu, adalah serangkaian cita-cita yang anti kemapanan, antri struktural dan menolak segala bentuk penindasan. Tentu saja, di usia yang sudah terbilang dewasa ini PMII harus mereformulasi arah gerakannya sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.

PMII juga harus mampu merubah pola pikir para kader yang mengatakan bahwa telat lulus dengan menyandang title mahasiswa abadi dengan alasan mengurusi organisasi yang ternyata hal itu menjadi kebanggaan bagi sebagian besar kader PMII, maka PMII harus bisa merubah karena hal itu tidak sesuai dengan zamannya. Kader PMII selain harus setia terhadap organisai, harus konsisten pula dengan akademisi.

Baca Juga :  Akar Kisruh Politik ; Pemilik Media Jadi Tim Sukses

Bagi kader PMII, membela kaum mustad afin adalah sebuah keharusan. Namun, lingkungan akademik adalah citra diri. Karena kader PMII merupakan sosok Intelektual-Akademik. Pergumulan dalam dunia intelektual-akademik ini seharusnya menjadi sesuatu yang mampu di internalisasi dalam setiap diri kader, tidak ada yang salah jika kader PMII unggul dalam organisasi dan baik dalam akademisi. Mengingat kader PMII merupakan insan akademik yang memposisikan diri sebagai mahasiswa aktif yang lekat dengan atribut intelektual.

Reorientasi kader PMII

Perlu kiranya bagi PMII merumuskan program khusus untuk menghadapi tantangan zaman, termasuk dalam menghadapi bonus era demografi. Karena ke depan, dunia kerja dan industri memerlukan SDM (sumber daya manusia) yang unggul dan berkompeten sesuai dengan tuntutan zaman. Sehingga setiap kader tidak melulu digembleng oleh para pendahulunya untuk menjadi politisi ulung sejak dini atau menggeluti aktivitas politik di wilayah kampus. Bagi aktivis, hal itu merupakan sesuatu yang prestis. Akan tetapi sekali lagi, tidak melulu soal itu.

Sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia yang tersebar di se-antero negeri dan banyak di isi oleh pemuda yang secara usia bisa dibilang sebagai usia produktif, maka tantangannya yang cukup besar ialah menyiapkan kader yang siap pakai yang memiliki nilai tawar untuk diajukan ke publik. Organisasi yang banyak dihuni oleh usia produktif ini harus melahirkan kader yang mumpuni, kreativ, inovatif serta memiliki karya dan gerakan nyata.

Salah satu rumusan yang bisa dikaji oleh PMII ialah agar bagaimana PMII ini mampu melahirkan para kader yang memiliki jiwa enterpreneurship. Disamping hal itu, kader PMII juga tidak hanya harus siap dalam menghadapai dunia pekerjaan, tapi juga harus turun kelapangan dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan untuk mendongkrak perekonomian. Ini juga salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membantu negara dalam meningkatkan ekonomi masyarakat.

Dalam menghadapi tantangan zaman seperti sekarang ini peran PMII tentu akan lebih bermakna dalam kehidupan berbangsa dan ber-Negara apabila orientasi dan sensivitas kepeduliannya di prioritaskan dengan tidak meninggalkan dua ciri utamanya; keindonesiaan dan keislaman. Dua ciri utama ini menjadi rujukan penting dan menjadi ruh dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Penyematan nama “pergerakan” tentu bukan tanpa sebab dan pasti memiliki reasoning tersendiri. Dengan nama tersebut kader PMII diharapkan dapat berkiprah dan berkonntribusi aktif dalam menegakkan keadilan dan kebenaran di negeri ini dengan semangat persatuan. Hal ini sejalan dengan cita-cita para pendiri PMII yang dituangkan dalam mars yang berbunyi “berjuanglah PMII berjuang, marilah kita bina persatuan”. Dan tentu saja sebagai pergerakan PMII harus dinamis dan luwes dalam merespons dalam menghadapi tantangan zaman.

Penting kita sadari bahwa PMII adalah benda mati, sementara yang hidup dan menghidupkan adalah jiwa-jiwa yang ada didalamnya. Di tangan dan otak para kaderlah PMII dihidupkan, ditumbuhkan dan mampu membangun peradaban yang beradab. Hal ini juga bergantung kepada siapa yang akan memimpin organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia ini. Karena pemimpin bukan saja berdiri sebagai panutan, namun juga merupakan tokoh yang berperan besar dalam menentukan arah perkembangan sebuah organisasi.

Oleh : Miftahul Ulum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *