Perilaku Mulia dalam Tugas Mulia dan Kesaktian Graha Citra

Antara Foto/ Rahmad

agitasi.id – Berprofesi sebagai Tentara Negara Indonesia (TNI) tentu menjadi impian banyak orang, karena profesi tersebut di Negara Indonesia sebagai salah satu tugas mulia yang diemban oleh Putera-puteri Rakyat Indonesia. Tapi, kadang hal tersebut kadang dinodai oleh beberapa oknum yang berperilaku yang kurang baik dan melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum.
Beberapa Minggu terakhir ini saja, telah diberitakan di beberapa media mainstream tiga TNI yang memutilasi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Semarang dan pemukulan sekuriti Shopee di Bali oleh oknum TNI. Belum lagi tragedi Kanjuruhan Malang yang juga belum usai.
Dan tadi pagi (14/10), saya secara langsung merasakan sendiri perilaku yang kurang baik dari oknum TNI. Saya dibentak-bentak dan dipukuli di kepala yang masih pakai helm. Untungnya, saya termasuk orang yang sedikit paham menyikapi orang yang sedang melayani publik dan tahu memberikan penilaian kepada pejabat negara yang sedang bertugas melayani publik. Maka, saya tidak langsung memberikan cap buruk kepada para TNI. Juga karena beberapa bulan terakhir saya sering bersinggungan dengan para TNI yang masih bertugas dan sudah purna tugas di Perumahan Graha Citra Mas Tegal Besar, Kaliwates, Jember. Mereka baik-baik dan ramah-ramah.

Penyebab saya dibentak-bentak karena memang kesalahan saya dan saya akui berkali-kali kali di hadapan mereka. Tapi pengakuan saya dianggap pembelaan dan ngeyel oleh mereka.
Kesalahan saya langsung nerobos saat pengendara sepeda motor lain diberhentikan karena mereka sedang menyeberangkan bus rombongan yang akan berkunjung ke Markas Batalyon Artileri Medan (Yon Armed) 8 – UDDHATA Jember di Jl. Letjen Suprapto No. 169, Kebonsari, Sumbersari, Jember. Tapi, saya nerobos bukan disengaja, awalnya saya mengira tidak ada bus yang akan diseberangkan dan menyangka proses pemberhentian pengendara sudah selesai, karena saya dari toko bangunan di seberang sebelah kanan pintu masuk markas. Jadi, ketika tancap gas dari toko bangunan tersebut langsung enak saja nerobos ketika ada celah kosong. Tapi nahas, saya diberhentikan pas di sebelah kiri pintu masuk, seraya dibentak-bentak.
Bentakan pertama, itu biasa, karena saya asal nerobos. “Yang lain berhenti, sampean kok terus!”, Ucap petugas utama penyeberangan. Lebih lanjut, beliau juga memberikan nasihat akibat-akibat dari kesalahan dari saya. Sebagai warga negara yang baik. Saya akui saya salah, dan minta maaf. Saya maklum, karena saya salah.
“Maaf pak, saya tadi dari toko bangunan itu nggak lihat kalau ada bus”, ucap saya. Tapi jawaban saya ini dianggap pembelaan. Tetap dibentak, nyali saya tidak ciut sedikitpun.
Tiba-tiba ada dua sampai empat petugas yang menghampiri, yang menarik perhatian, satu petugas yang tak sempat saya ketahui nama di dadanya, marah-marah sambil mengepalkan tangan yang siap ditonjokin ke wajah saya. Nyali saya mulai sedikit ciut.
Akhirnya, pasang strategi komunikasi merendah serendah-rendahnya. Tapi, petugas yang tiba-tiba datang itu, mengambil kunci sepeda motor saya dan dibawa ke dalam pos pintu masuk. “Bawa masuk, bawa masuk saja”, omelnya.
Selesai rombongan bus diseberangkan, dengan kekuatan mental yang dikuat-kuatin saya masuk ke kandang macan, markas tentara kawan, dengan posisi salah, bisa jadi makanan empuk. Terbayang gimana rasanya pas kalau digebukin sekelompok tentara dengan otot-ototnya yang berisi, tentu pukulannya akan meremukkan semua sendi-sendi tulangku yang lumayan kerempeng ini.
Hampir sampai pos, petugas utama tadi mengambilkan kunci sepeda motor saya, saya ngekor di belakangnya, ‘petugas tiba-tiba’ tadi ngekor di belakang saya, pas saya balik badan, ‘petugas tiba-tiba’ itu marah-marah lagi dan memukuli kepala saya. Petugas kayak gini yang membuat citra TNI buruk di mata masyarakat. Untungnya helm belum saya lepas.
Usai mengambil kunci, ‘petugas utama’ tidak langsung mengasih pada saya, saya masih dibawa menepi di seberang untuk diceramahi. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf, dan mengakui kesalahan. Beliau masih menasihati saya, bahwa hal tersebut sangat membahayakan, dan ketika ada proses pemberhentian oleh aparat TNI harus diikuti dengan agak keras dan tegas. Tapi, anehnya tiba-tiba nada petugas utama tersebut agak direndahkan, usai menanyai saya tinggal dimana.
“Tinggal dimana sampean?”
“Tegal Besar, Graha Citra”, jawab saya. Tidak hanya merendahkan nada bicara, beliau juga mengasih kunci sepeda motor saya.
“Ya sudah ini, lain kali jangan diulangi lagi”, ucapnya. Sembari mengambil kunci sepeda motor dari tangan beliau, saya ucapkan mohon maaf berkali-kali. Dan pamitan dengan tangan menyatu pertanda mohon maaf kepada para tentara yang lain.
Akhirnya, mestinya para TNI bersikap tidak asal mukul seperti ‘petugas tiba-tiba’ tadi. Bentak-bentak dan peringatan keras atas kesalahan yang seperti saya lakukan itu biasa. Emosi saat capek bekerja itu manusiawi. Jangan sampai tugas mulia seperti menjadi tentara, dinodai dengan perilaku yang kurang mulia. Dan, penegakan kebenaran tidak boleh berkurang, hanya karena mendengar Graha Citra.

Baca Juga :  JEMBER : KOTA SERIBU GUMUK YANG MULAI REMUK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Memang para asn, tni, polri dll (oknum) sering kali lupa kalau mereka adalah disumpah untuk melayani mengayomi dan menegakkan keadalin namun dlm keseharian mereka mertidan dan berbuat seolah dia posisinya lebih baikdan mulya dr orang yg dlm sumpah janjinya untuk di layani dan diayomi