MAHASISWA KOK BANYAK GAYA, PADAHAL BAHAGIA ITU SEDERHANA !

AGITASI.ID “Saya pikir dan saya kira, cara terbaik untuk membahagiakan diri ialah dengan membuat indah kehidupan orang lain dan mengerti sebanyak mungkin” (surat RA. Kartini pada Ny. R.M. Abendanon, 9 Maret 1903)

Malu rasanya sebagai mahasiswa yang hidup di zaman yang amat maju di era media sosial, tapi sangat beloon dalam memahami makna bahagia yang sederhana, senatural dan sesimple surat Kartini itu. Sebuah makna yang sebenarnya sangat mudah dipahami dan dimengerti oleh mahasiswa pemilik otak sebesar biji kemangi ini.

Bacaan Lainnya

Makna bahagia itu sederhana, tapi menjadi rumit lantaran dewasa ini, termasuk mahasiswa UIN Jember yang menilai hidup harus gaul, hits dan mengikuti trend adalah predikat kebahagiaan yang harus diraih. Itu sebabnya mereka berlomba-lomba jadi orang paling Style With a Bit Gangsta (SWAG).

Entah mengapa, mahasiswa kini antusias sekali dengan gaya hidup serba modern dan enggan dengan sesuatu yang lawas alias jadul (jaman dulu), ah mungkin basi kali ya. Berpenampilan mewah dengan aksesoris brand termahal, Iphone keluaran terbaru, dan Motor Gede (MoGe), sudah menjadi trend andalan ala-ala Qarun masa kini.

Iya betul, Qarun yang menilai sumber kebahagiaan berasal dari harta, bersifat sombong sehingga ditenggelamkan oleh AllAh beserta hartanya. Diam-diam, ternyata mahasiswa sekarang lebih demen mengikuti bahagia ala Qarun ketimbang mencontoh Kartini.

Mungkin karena Qarun produk luar negeri dan laki-laki maskulin yang selalu tergambar lebih keren, SWAG, dan gemoy, dibanding Kartini yang feminis dan ndeso bin jadul dari Kalinyamat. Gwenchana!.

Qarun memang benar-benar guru hedonisme paling sempurna. Carilah sejagat raya, tidak akan ada yang sanggup menandingi mega-pongahnya Qarun. Mau orang terkaya Rafi Ahmad, terseksi Cleopatra, Terasis Hitler, Terviral Aldi Taher, semuanya lewat, apalagi mahasiswa sekarang pada hedon dengan modal beasiswa. Priiittt, off side!

Mahasiswa Qarun terkesan memperkaya diri dan banyak gaya, namun diam melihat manusia lain kelaparan. Berjalan dengan dada membusung, rambut klimis dan harum, tapi ketika teman satu kos pinjam uang seratus agar silaturrahmi tidak putus, sulitnya minta ampun. Eh cut off, waw!

Berbeda jika kita meneladani bahagia ala Kartini, yang cukup membuat indah kehidupan orang lain, sebagai contoh bersedekah ketika punya rezeki lebih, memberi seribu rupiah pada pemandu jalan atau tukang parkir, bersedekah setiap hari Jumat kepada tukang becak jalanan, penjual tahu petis di lampu merah Mangli dan orang yang membutuhkan lainnya. Gaya boleh elit, asal mengerti dan peduli terhadap kehidupan sesama.

Baca Juga :  NYAI SINTA NURIYAH, MAAFKAN SAYA..! Surat Pecinta Perjuangan Gus Dur Dari Alumni UIN KHAS Jember

Tapi, saya sama sekali tidak terobsesi dengan mahasiswa Qarun yang begitu. Iya, saya memang suka mikir “bjir lah, fuck kata gue teh”. Tenang, ini bukan masalah bagaimana urusan hisab mereka di akhirat. Biarin saja mereka sendiri yang ngurus, lha wong urusan saya sendiri saja belum kelar-kelar kok.

Harap maklum, saya bukan panitia surga yang bisa menentukan orang hedon, sombong dan tidak peduli sama calon penghuni neraka. Saya hanya prihatin pada mahasiswa Qarun ini yang menganggap gaya hidup mewah adalah sumber kebahagiaan, padahal itu rumit sekali.

Coba bayangkan, tampil menjadi paling cetar membahana memang menyenangkan, tapi hidup di perantauan sebagai mahasiswa Jemberan, tentu uang kiriman orang tua tidak melulu cukup untuk mengimbangi seleb-seleb idaman. Kalau nuruti gaya hedon, bisa jadi kita kece di awal bulan tapi kere di akhir bulan.

Namun, semua bisa diakali jika kita bahagia ala Kartini, meski setiap hari ngopi lima ribuan, setiap Jumat bersedekah, dan ucapan terima kasih yang kita buat indah pada kehidupan orang lain dengan modal lima sampai dua puluh ribuan saja. Karena melihat orang lain tersenyum adalah puncak kebahagiaan ala Kartini.

Maka dari itu, mengikuti jejak Kartini lebih cucok buat kita, karena kita tetap membumi sebagai manusia. Lebih santai kayak di pantai, sehat di akhir bulan tidak makan indomie, tetap kalem, dan tahu diri bahwa harta hanya titipan, sekali lagi jangan jadi mahasiswa Qarun!. Gak keren.

Penulis : Ronven Apriani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *