Lebih Satu Dasawarsa, ATOS dan Porak Poranda Kesenian Kampus

Gambar Harlah ATOS Jember Lebih Satu Dasawarsa 15/05/2024

Penulis: Mashur Imam*

Agitasi.id- ATOS bukan bahasa Jawa, namun akronim dari kelompok kesenian yang menamakan dirinya “Acoustic Teater of Syari’ah“. Semalam, tepat di tengah bulan Mei tahun ini, saya dzikirkan seluruh gairah keTuhanan untuk mengenang dan mendo’akannya.

Bacaan Lainnya

Lebih satu dasawarsa, tepatnya telah 11 tahun ATOS berdiri. Tentu, sebenarnya tak ada yang menarik dari usia tersebut. Umurnya memang telah sama dengan komunitas seni yang didirikan Rendra, Bengkel Teater. Hanya saja! tolong jangan dibandingkan!

Bukan Sarang Seniman

Mengenang pendirian ATOS tak semegah nan indah historis Bengkel Teater. Walau umurnya boleh disetarakan.

Bengkel teater berdiri 1967 dan resmi bubar tahun 1978. Umurnya satu dasawarsa lebih setahun. Jadi sama 11 tahun dengan ATOS saat ini. Walau sama, sekali lagi saya tegaskan, jangan coba-coba dibandingkan! Jauh curam, bagai langit dan sumur.

ATOS diinisiasi oleh orang-orang sederhana. Tak seperti Rendra, cebolan Fakultas Sastra UGM dan American Academy of Dramatic Arts. Para perintis ATOS hanya bocah-bocah desa yang berimaginasi sastra di Fakultas Hukum dan tersesat di perguruan tinggi agama.

Sebagai komunal yang digerakkan oleh orang yang tak berpendidikan sastra, ATOS bukan sarang seniman. Itu sebab para anggotanya tak pernah merasa berkesenian. Berimaginasi sebagai penikmat seni saja tak mampu, apalagi berupaya menjadi seniman.

Bisa dikatakan, ATOS lahir bukan karena gairah pendidikan seni. Tapi, hanya dari kemaruk sosial yang mendesak perintisnya untuk belajar seni dalam bahasakan duka dan perlawanan secara baik.

Tak bisa dibandingkan dengan komunitas hebat dan legandaris negeri ini. Sebab, hanya dirintis untuk mengelola kebenaran, keadilan, duka dan suka, agar diluapkan secara baik. Gairah ini, yang bagi saya, menjadi kekuatan untuk tetap bertahan lebih sedasawarsa ini.

Mereka yang bergabung ke ATOS, tentu bukan ingin menjulangkan karir sebagai seniman. Tidak untuk menyematkan namanya agar sekeliber Rendra, Teguh Karya, Nano Riantiarno, Arifin C. Noer, hingga Bang Putu Wijaya. Mereka hanya pemuda resah yang memilih jalan teater, puisi, dan musik untuk ungkapkan deru nurani dan otaknya.

Baca Juga :  “No Viral, No Justice” : Gerakan Roasting Penegak Hukum !

ATOS Cukup Beruntung

Kini periode keanggotaan ATOS telah mencapai angkatan 07. Jika tiap angkatan diasumsikan sebagai anak, maka boleh saja keluarga kesenian ini dianggap telah bertahan tujuh turunan. Bahkan jika terus kuat, bisa saja berkembang hingga ratusan turun.

Potensi berkembang hingga lanjut usia, tentu besar. Apalagi kemarin, angkatan barunya telah memperkenalkan lagu anyar yang dibuat saat diklat lapang beberapa minggu sebelum harlah. Mereka diprediksi akan membuat masa depan lebih “menyala” (persis judul lagunya).

Sepertinya, untuk urusan usia, ATOS berpeluang besar melebihi usia Bengkel Teater yang nasibnya buruk. Rendra pernah babak belur ditekan kebijakan orde baru. Karyanya dicekal, Bengkel Teater pun juga musnah.

Sedangkan ATOS, belum pernah dicekal. Tentu, karena sekarang bukan orde Baru. Para perintis dan anggotanya, aman-aman saja. Tak penah dilarang tampil, hingga lebih sedasawarsa ini. Mungkin hanya tercatat satu kali saja, berurusan dengan kepolisian karena aksi teater yang mirip-mirip PKI beberapa tahun lalu.

Kalau demikian, kenapa tidak setenar Bengkel Teater Rendra? Padahal pemerintah sudah tak seotoriter Soeharto? Nah, ini masalahnya!

Porak Poranda Kesenian Kampus

Walau kebebasan pendapat telah dibuka lebar, nyatanya kesenian di Kampus melempem. Otak seni melamah, utamanya di perguruan tinggi agama yang notabene tak ada Fakultas Sastranya. Untuk menikmati seni saja tak mampu, apalagi menjadi bagian dari karya seni itu sendiri.

Arus teknologi komunikasi yang berkembang di kampus, bukan malah menguatkan. Kelompok kesenian notabene berkarya atas cita, rasa dan karsa. Ketiganya hanya muncul, saat komunikasi berjalan dengan baik. Sedangkan, teknologi membuat komunikasi tak berjalan baik. Cita, rasa dan karsa susah terbentuk bersama. Kesenian pun sunyi dan sepi.

Ditambah lagi, industrialisasi dan kapitalisasi kesenian terjadi besar-besaran. Saat ini, apa guna berkesenian, jika tak punya dapur industri? Kapitalisme masuk ke otak para pegiat seni. Rame-rame, banyak yang berkata, “apa guna berseni, jika tak menghasilkan uang?

Baca Juga :  FESTIVAL PASAR BUDAYA; Ijtihad Berperadaban PMII UIN KHAS

Carut marut ini diperparah dengan perilaku para akademisi yang menampakkan diri sebagai pembisnis. Dosen hukum, pendidikan, sastra bahkan agama, tiba-tiba jadi motivator bisnis. Padahal mereka bukan dosen ekonomi.

Ilmu pengetahuan pun melemah. Otak-otak mahasiswa terisi agenda industri. Begitupun pegiat seninya.

Kelompok seni pun semakin sunyi seiring melemahnya pengetahuan. Akhirnya, banyak muncul fenomena unik. Gedung teater tak lagi ditempati pertunjunkan kesenian, namun disulap jadi tempat resepsi pelantikan pejabat organisasi kampus, seminar, konsilidasi hingga acara keagamaan.

Akibatnya, mereka yang seniman tak lagi punya tempat berkarya. Teater hanya ditampilkan di jalanan atau tepian-tepian halaman kampus yang sepi. Jika pun masuk ke acara-acara megah, aksi mereka tak lebih dari sekedar penghibur. Layak dianggap “badut-badut” acara-acara formal.

Parahnya, muncul anggapan bahwa mereka yang bergabung dalam kelompok kesenian bukan lagi akademisi. Namun, cenderung dianggap pengangguran, nakal dan sering meresahkan kampus. Pegiat seni dianggap tak ubahnya preman akademik yang dianggap tak memikirkan masa depannya.

Kerumitan semacam ini yang bagi perkembangan kesenian kampus, lebih kejam dari tekanan orde baru. Orde baru hanya memporak-porandakan hidup dan rumah pegiatnya, sedangkan saat ini menyerang dunia keseniannya.

Orde baru dulu hanya mengkerangkeng pegiat seni, namun kesenian masih jadi barang mewah di kampus dan publik. Saat ini lebih kejam lagi. Kesenian dipinggirkan menjadi barang tak berharga di dunia akademik. Karya seni hanya jadi pelengkap promosi barang-barang industri atau hanya untuk mendongkrak figur pajabat dan pengusaha.

Pada situasi yang porak-poranda ini, sungguh begitu istimewa hidup para perintis dan orang yang masih semangat dalam kelompok kesenian. Dalam kondisi yang terpinggirkan, mereka masih bersabar dan bertahan walau sedang dilemahkan kampusnya sendiri.

Namun, bersyukurlah! Sebab, di dunia yang rumit dan tak waras, lebih baik memilih terasing dan terpinggirkan.

*Penulis adalah Founder Dar Al Falasifah dan Sekrtearis Lakpesdam PCNU Jember
*Artikel ini merupakan pendapat pribadi dari penulis opini, Redaksi Agitasi.id tidak bertanggungjawab atas komplain apapun dari tulisan ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *