AGITASI.ID – Berbicara tentang agama, pasti tidak akan terlepas dengan adanya agama otentik atau bisa kita kenal juga dengan idialisme penganut agama yang sungguh-sungguh dalam meyakini dan menekuni apa yang memang sebayanya untuk kita lakoni dalam keseharian hidup. Namun disisi lain beragama tidak cukup dengan sekedar copy paste tradisi-tradisi yang terjadi disekeliling kita, karena kita harus sadar dan melek akan perkembangan masa ke masa yang kaya akan perkembangan.
Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan terkadang keyakinan dan agama kitalah yang menjadi pertanyaan atau bahkan perbincangan panas dibalik ketenangan dalam sebuah perjalanan menyusuri lembah arti kehidupan. Karena dalam hal ini, saya mencoba untuk merefleksikan diri saya untuk berfikir tentang pertanyaan dalam memikirkan nilai-nilai progresif islam, yang dalam hal ini perlu kita tanyakan, apakah kita sudah pernah mencari otentisitas beragama secara progresif ?. Pertanyaan yang muncul didasari dengan kesadaran individual umat islam yang hari ini mengalami “alienasi” dalam mempersiapkan kehidupan kontemporer.
Para pemikir islam progresif banyak sekali menawarkan gagasan-gagasan dalam rangka menemukan jati diri dan otentisitas beragama. Sayyid quthub yang terkenal dengan radikalnya berfikir tentang islam dan berpendapat bahwa konsep dasar islam yang bersebrangan dengan kejahiliahan, Ali syari’ati yang juga terkenal dengan jiwa revolusionernya mendasarkan ajaran islam sebagai gerakan nyata melawan berbagai bentuk tirani, Muhammad Arkoun yang dulunya terkenal dengan seorang filsuf islam modern juga menggali turats dengan berbagai perangkat-perangkat modern pula demi melahirkan islam progresif.
Otentisitas yang kemudian dikaitkan dengan “warisan” kebudayaan dari masyarakat secara umum, bahkan keseluruhan pengalaman masa lalu dalam kehidupan masyarakat yang dalam istilah arabnya dikenal dengan sebutan turats [tradisi]. Artinya adalah, elemen-elemen kebudayaan warisan yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang harus dipertahankan sebagai nilai-nilai bekal membangun masa depan islam yang lebih progresif dalam menghadapi perubahan dan tuntutan zaman. Hal ini bisa kita jadikan sebagai prinsip dasar untuk melawan perubahan yang disebabkan masuknya unsur eksternal yang tidak kita dapat kita pungkiri seringkali melahirkan imitasi kebudayaan dan meninggalkan otentisitas.
PR besar bagi kita untuk mencari otentisitas islam, patutlah bagi kita untuk kembali kepada jalur aturan-aturan yang bersifat universal dan menjanjikan bahagianya suatu kehidupan dan tidak lagi ada sistem perbudakan duniawi dalam istana kekuasaan islam yang progresif. Hal ini saya analogikan sebagai salah satu bentuk garis-garis perjuangan baginda Nabi Muhammad Saw dalam memperjuangkan islam dari komunitas jahiliyah menjadi komunitas islami yang beriman dan berlindung serta bertanggung jawab akan aturan sang esa. Karena inilah yang menjadi bukti sejarah perjuangan untuk memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah dan mewujudkan umat yang disebut dengan hizbullah (partai tuhan). Namun walaupun demikian, mereka tidak menyebut model-model politik secara khusus. Hal ini dianggap penting dikarenakan pemikiran progresif islam tidak akan mengenal pemikiran-pemikiran tentang perbedaan ras dan asal usul manusia, yang kita kenal hanyalah ajaran islam yang abadi dengan didasari dengan keadilan dalam memberikan pertimbangan serta keputusan, kepatuhan yang diatur dalam permusyawaratan antara hal yang diatur dan mengatur. (*)
Penulis: Ikhsan Fani