AGITASI.ID – Beberapa pekan kemarin selepas acara yudisium di kampus, ada salah satu kakak tingkat diatas saya yang curhat komplain di grup WA. Blio curhat karena dari sekian teman seangkatannya tidak ada satupun yang mendapat predikat sebagai wisudawan terbaik. Padahal kalau soal kemampuan akademik beliau jempolan. Malah yang mendapat predikat cumlaude semua adalah dari adik-adik angkatan dan dari prodi-prodi yang lain.
Jujur saja Saya sendiri tidak begitu memikirkan akan hal itu. Apatis dan bodoh amat. Namun berdasarkan pengamatan Saya, ada beberapa alasan penyebab seorang mahasiswa tidak mendapatkan predikat cumlaude atau wisudawan terbaik dari kampus tempatnya belajar. Hal itu dilatarbelakangi oleh banyak faktor.
Kendati demikian, bagi mahasiswa yang merasa salah jurusan ia tidak akan mempunyai motifasi untuk meraih prestasi tersebut. Bagaimana mau ngejar lulusan terbaik, kalau kuliah aja baginya membosankan. Biasanya ia tidak memandang kehidupan akademik sebagai hal utama, asal bisa lulus dan menggondol gelar sarjana. Hal itu sudah lebih dari kriteria cukup.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan karena mahasiswanya sendiri tidak pantas untuk dinobatkan sebagai lulusan terbak. Artinya memang karena mahasiswa yang “bebal” dan “malas belajar”. Bahasa kerennya itu tolol dan gak punya otak. Mau ataupun tidak, alasan yang terakhir ini bagaimanapun memang faktor obyektif yang juga harus diakui. Selain iu perlu ditanggulangi.
Sementara itu disisi lain, mahasiswa yang mendapatkan predikat cumlaude itu pun juga tidak dilatarbelakangi oleh “faktor tunggal”, melainkan oleh beberapa faktor.
Bagi mahasiswa yang menemukan “kecocokan” dengan jurusan kuliahnya ai mempunyai motifasi belajar yang luar biasa. Artinya ia yang tidak salah jurusan akan semangat dalam mengejar target-target tertentu, salah satunya menjadi wisudawan terbaik. Biasanya mahasiswa tipe ini memandang kehidupan akademik beserta nilai IPK sebagai hal utama untuk masa depan karirnya. Oleh karenanya, mahasiswa tersebut harus cerda rajin belajar, dan mendapatkan hati dosen dan dekanat Fakultas.
Tetapi terlepas dari curhatan komplain teman saya seperti fenomena diatas. Saya merekleftifkan kejadian tersebut, memikirkan kembali tentang apa itu nilai dan peran sebagai sarjana. Sebagai kaum (yang konon) intelektual, sebagai yang (konon) mempunyai surplus pengetahuan lebih daripada masyarakat kebanyakan. Sebab ia sudah menyandang gelar sarjana.
Kalau kita tarik kilas balik sejarah, kaum terpelajar berperan penting dalam upaya memerdekakan Indonesia. Dalam beberapa literature jelelaskan bahwa 50 sarjanawan bisa memerdekakan negeri Hindia ini dari penjajahan kolonial. Entah bagaimana peran sarjanawan dan kaum terpelajar per-hari ini.
Alih-alih seperti teman saya yang curhat komplain tidak terima di grup Whatsapp, saya memilih “mulat sarira”, mengkontemplasikan semua itu dengan melemparkan 3 pertanyaan kritis yang saya kira amat penting. Pertama, apakah predikat wisudawan terbaik itu bukti valid jika kita mempunyai intelektualitas yang baik? Kedua, apakah tidak mendapat predikat wisudawan terbaik itu bukti valid jika kita tidak mempunyai intelektualitas yang baik? Ketiga, apakah yang dimaksud dengan intelektualitas yang baik itu?
Untuk menjawab ketiga pertanyaan itu saya ingin menyodorkan sedikit pemikiran dari Antonio Gramsci yang merupakan seorang pemikir Marxis dari Itali. Gramsci mengklasifikasi kaum intelektual menjadi dua bagian, yakni Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Secara singkat, Intelektual Tradisional adalah para intelektual yang hanya menikmati surplus intelektual hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarganya, golongannya, majikannya (penguasa). Dia hidup dalam tembok tebal kaum elit dan menghindar dari kehidupan masyarakat kelas bawah. Dia intelektual yang menutup mata dan telinga atas penderitaan dan ketimpangan sosial di sekitarnya, asal dirinya sendiri masih bisa menikmati kemapanan. Intelektual Tradisional ini bisa siapa saja, bisa dosen, guru, mahasiswa, penulis, PNS, dokter, politikus yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Sementara itu Intelektual Organik, singkatnya adalah para intelektual yang terhubung dengan kelus kesah masyarakat, yang terhubung dengan jeritan sosial di sekitarnya. Ia tidak menikmati surplus intelektual hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk didistribusikan kembali kepada masyarakat yang lebih luas. Ia tidak hidup dalam tembok tebal komunitas kaum elit melainkan lebih suka menyatu dengan kehidupan penuh perjuangan dari masyarakat kelas bawah. Intelektual Organik ini bisa siapa saja, bisa dosen, guru, mahasiswa, dokter, penulis, PNS, ataupun politikus yang berhasil mengawinkan intelektualitasnya dengan kebermanfaatan sosial.
Jika dtinjau dari gagasan Gramsci ini, predikat wisudawan terbaik atau tidak sesungguhnya tidak begitu penting dan tidak begitu berpengaruh dalam kaitannya dengan intelektualitas yang baik. Sebab jika punya IPK tinggi dan berpredikat wisudawan terbaik, tetapi hanya menggunakan intelektualitasnya untuk kepentingan dirinya sendiri dan abai pada ketertidasan sosial masyarakat kelas bawah, toh apa guna predikat wisudawan terbaik. Tidak lebih hanya hiasan yang bersanding “intelektualitas mandul” semacam itu?
Sebaliknya tidak mendapat predikat wisudawan terbaik dan IPK yang tinggi, kita bukanlah berarti mahasiswa yang gagal, kita tetap masih bisa menjadi intelektualitas yang baik, yaitu intelektualitas organik yang setia mengabdi pada masyarakat kelas bawah dan masyarakat yang terzalimi. Bagi saya, sukses atau tidak suksesnya orang kuliah itu bukan terletak pada nilai IPK dan predikat cumlaude, bukan pula terletak pada suksesnya karir pekerjaan setelah kuliah, dan bukan juga pada kepandaian dan keproduktifan menulis, melainkan sukses atau tidak suksesnya orang berkuliah itu terletak pada dia berhasil bertransformasi menjadi intelektual organik atau tidak? Dia berhasil menterjemahkan pengetahuan intelektualnya untuk kebermanfaatan sosial atau tidak?