AGITASI.ID – Indonesia adalah “negara besar”, tak hanya populasi penduduk yang mencapai 280 juta jiwa, tanah yang luas, subur nan indah itulah yang juga bagian darinya. Berbagai macam tumbuhan yang bisa tumbuh subur di tanah bumi pertiwi ini, mulai dari sektor pertanian hingga sektor perkebunan.
Begitu pula kekayaan alam yang ada di Indonesia sangat melimpah, berbagai komoditas tumbuhan bisa tumbuh subur di negara ini. Akan tetapi, Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara maju lainnya.
Permasalahan yang sangat dominan dengan negara Indonesia yakni budaya masyarakat konsumtif, ketidakmandirian, dan ketergantungan sosial-ekonomi. Perilaku ini yang harus dihilangkan dari masyarakat Indonesia. Apabila Indonesia masih tetap seperti itu, maka bangsa asing akan sangat mudah menyetir atau mengendalikan roda sosio-ekonomi, dan politik Indonesia.
Indonesia akan mencapai usia satu abad pada 2045 atau Indonesia Emas. Berdasarkan Visi Indonesia 2045, Indonesia bercita-cita menjadi negara maju dan masuk sebagai kekuatan lima besar dunia. Indonesia ingin mengejar pembangunan berkualitas dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 6%-7%.
Cita-cita yang tak mudah karena sejak saat ini harus meletakkan fondasi yang kukuh. Sebagai bangsa yang besar, disegani, dan berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa yang lebih maju lainnya.
Bung Karno berwasiat, Indonesia bisa menjadi negara besar dengan jurus berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Tak elok rasanya jika berlanjut dengan revolusi mental yang gagal.
Namun ternyata, realitas hari ini masih terjadi ketimpangan dalam berbagai lapangan kehidupan. Entah hal kemiskinan, hukum, demokrasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan sumber daya manusia. Ketimpangan tersebut terjadi karena meminggirkan asas keadilan. Sebuah asas yang paling hakiki ketika kita berdiri sebagai bangsa yang berfalsafah Pancasila. Sesuai dengan sila kelima, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini seharusnya menjiwai seluruh aspek pembangunan. Melihat hal tersebut, lantas, bagaimana sosok pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini ?.
Adapun pemimpin Indonesia yang dibutuhkan adalah sosok kepemimpinan yang bisa mengendalikan perilaku konsumtif, ketidakmandirian, dan ketergantungan masyarakat Indonesia. Mengapa begitu ? Indonesia sebentar lagi akan menyambut Golden Era atau Indonesia Emas di tahun 2045. Sangat dibutuhkan kepemimpinan yang bisa berkomitmen dan membawa perubahan besar (great transformation) serta dampak yang signifikan. Dengan begitu, ada beberapa catatan yang perlu dimiliki oleh pemimpin Indonesia.
Pertama, pemimpin yang diperlukan Indonesia saat ini adalah yang memiliki ide transformatif dan progresif. Kepemimpinan yang memiliki kemampuan untuk mendorong rakyat Indonesia serta memanfaatkan sumber daya yang telah tersedia di bumi pertiwi. Ini semua adalah bentuk dari potensi dan kapabilitas untuk mencapai kehidupan bangsa yang lebih baik, berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Kedua, pemimpin yang visioner, dan berpandangan jauh kedepan, memiliki cita-cita kuat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta kepribadian di era Indonesia Emas.
Ketiga, sosok kepemimpinan yang berkomitman pada penegakan hukum, hak asasi manusi (HAM), dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Keempat, pemimpin yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat Indonesia serta berkomitmen kuat untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat yang tengah melarat sekarat.
Kelima, pemimpin yang berani menegosiasikan pembayaran utang luar negeri dan menghentikan penjualan produk luar kedalam negeri serta mengembalikan aset-aset strategis bangsa ke pangkuan rakyat Indonesia sendiri.
Keenam, pemimpin yang tidak memiliki kepentingan ganda atau kepentingan pribadi. Akan tetapi belakangan ini dalam panggung sandiwara dunia perpolitikan di Indonesia telah terjadi problem kepentingan dengan partai politik. Lebih ironis dan kejamnya lagi, pemimpin Indonesia sekarang masih banyak yang merangkap jabatan seolah-olah mereka belum puas akan jabatan yang telah diberikannya.
Sejauh ini, pemimpin Indonesia masih terbelenggu dalam ketidakberdayaan dan ketidakberanian untuk menunjukkan jati diri bangsa. Sehingga mudah diarahkan oleh kekuatan-kekuatan internasional yang jelas-jelas punya agenda sendiri, tak lain apalagi kalau bukan agenda imperialistik.
Hal ini tentunya akan banyak terjadinya paradoks dalam kebijakan perpolitikan yang seharusnya pemimpin milik rakyat, bukan tersekat oleh fragmentasi dari partai politik. Bukan hanya itu, seringkali ditemukan pemimpin yang memiliki bisnis jaringan keluarga dan hal ini akan mendorong dan menjebak kedalam kolusi dan nepotisme.
Oleh karena itu, setelah dilaksanakannya Pemilihan umum (Pemilu) 2024. Besar harapan penulis, dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, pemimpin Indonesia memiliki kepribadian yang telah disebutkan dan jelaskan diatas.