FERDY SAMBO DIVONIS MATI? INGATLAH INDONESIA ADALAH MABES MAFIA PERADILAN

AGITASI.IDUsai majelis hakim menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo, terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J, trust publik terhadap wajah peradilan Indonesia spontan naik. Namun hukuman ini tak sesederhana itu menimpa mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propram) Polri tersebut, apalagi sudah terdengar Ferdy Sambo CS sudah megajukan banding. Di lain sisi juga perlu diingat, bahwa Indonesia adalah markas besar para mafia peradilan.

Senada dengan pernyataan di atas, Hibnu Nugroho (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman) juga menyatakan bahwa hukuman tersebut sangat berpeluang untuk dikurangi apabila bandingnya diterima. Lebih-lebih bisa saja berubah menjadi hukuman seumur hidup atau bahkan lebih ringan.

Memang benar banding adalah salah satu bagian dari upaya pembelaan terhadap putusan pengadilan. Maka tidak menutup kemungkinan jika nanti majelis hakim banding akan kembali memeriksa ulang terhadap perkara yang sudah diputuskan tersebut.

Segala aspek mulai pemeriksaan hingga pembuktian nantinya juga akan terulang kembali dengan sudut pandang Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) yang bisa saja berbeda, dan hal demikian juga berpotensi merubah keputusan awal majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), khususnya PN Jakarta Selatan yang  dalam perkara ini diketuai oleh Wahyu Imam Santoso berserta dua rekan profesinya, yaitu Alimin Ribut Sujono dan Morgan Simanjuntak.

Di lain sisi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga ikut serta mengajukan banding terhadap vonis yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo, termasuk pula para terdakwa lain dalam perkara ini (Putru Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf.

Paparan normatif JPU mengapa juga ikut serta mengajukan banding diwakili oleh Ketut Sumedana (Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung), Ia memaparkan bahwa ada pertimbangan yang sifatnya normatif sesuai dengan Pasal 67 KUHAP, yang menyatakan bahwa JPU juga berhak terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.

Kabar terakhir yang beredar tentang kapan putusan perkara  pidana banding ini akan dibacakan alilas dipublish, yaitu melalui sidang terbuka pada tanggal 12 April 2023. Hal ini disampaikan langsung oleh Binsar Pakpahan (Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta). Sebelum publik dikejutkan oleh hasil putusan PTN DKI Jakarta nantinya, barangkali menarik berbincang lebih tentang kasat-kusut peradilan di Indonesia yang kerapkali diwarnai maraknya mafia peradilan.

Term Mafia Peradilan

“Berikan saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan  yang buruk pun aku bisa membuat keputusan yang baik”, ungkapan Prof. Taverne yang satu ini, menampar keras corak negara hukum  (law state) yang mengadopsi sistem hukum Eropa Kontinental (civil law sistem) yang banyak berpedoman pada teks-teks normatif aturan, bukan terhadap moral para penegak hukumnya. Indonesia sebagai salah satu penganut civil law, juga merupakan negara yang  seringkali tersandung-sandung saat berupaya mewujudkan satu mimpi besar adanya hukum, yaitu keadilan. Hal demikian jika diamati tidak serta-merta karena kurangnya atau curangnya aturan yang sudah ada, namun lagi-lagi adalah ulah para penegak hukumnya yang kerap kali masuk angin.

Baca Juga :  Kemenangan Jokowi’s Coattail Effect Melawan Kuasa Hegemoni Soekarno

Terbukti saat term mafia peradilan mulai muncul di Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan term ini pun tidak sekedar menjadi fitnah atau hanya uapan dari pengetahuan spekulatif orang-orang tertentu. Namun, hal tersebut terkonfirmasi tegas sejak dibentuknya Judicial Mafia Eradication Task Force alias Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum  (Satgas PMH) oleh SBY. Satgas ini dibentuk tidak lain karena banyak fenomena-fenomena tertentu yang meimpa institusi peradilan di Indonesia pada berbagai tingkatan, yang menyebabkan disfungsi lembaga penegak hukum. Meskipun fenomena demikian sudah banyak muncul sejak  peradaban kuno, namun di era mutakhir ini pun masih marak lembaga penegak hukum yang mengalami disfungsi ereksi alias impoten.

Hadirnya Komisi Yudisial

Sebelum adanya satgas PMH,  upaya pengawasan yang negara bentuk terdahulu  adalah Komisi Yudisial (KY), sebuah lembaga eskternal yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kerja-kerja serta berbagai macam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Lembaga ini dibentuk berlandaskan pada setiap permasalahan yang dialami oleh lembaga pengawas internal, yaitu Mahkamah Agung (MA). MA dianggap kurang akuntabel dan tidak cukup optimal memenuhi prinsip-prinsip kerja pengawas kala itu. Sehingga Komisi Yudisial hadir dengan semangat penegakan keadilan yang tinggi, karena permasalahan hukum di Indonesia juga menyangkut persoalan rumitnya tatanan birokrasi yang harus ditempuh saat proses pengawasan terhadap hakim-hakim bermasalah menjadi sulit. Selain itu, lembaga ini juga memiliki tujuan besar untuk memberantas maraknya mafian peradilan serta meningkatkan indpedensi peradilan dan para hakimnya. Lebih-lebih mengupayakan proses-proses pembaharuan peradilan.

Logis apabila negara berupaya mendirikan institusi yang mengawasi kinerja lembaga-lembaga yudikatif yang berada di luar entitas yudikatif itu sendiri, karena fungsi pengawasan dapat dilakukan sebelum, sepanjang, dan bahkan sesudah kerja-kerja lembaga yudikatif terlaksana. Negara mengidealkan fungsi pengawasan yang memang seharusnya independen saat berhungan dengan institusi yang bersifat legal entity. Setiap pengawasan  yang dilakukan KY terhadap lembaga peradilan terfokuskan pada pengawasan terhadap hakim.

Sehubungan dengan paparan di  atas, KY mempunyai 3 (tiga) nomenklatur pertanggungjawaban: tanggung jawab administrasi, tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang diterapkan, serta tanggung jawab subtansi yang memiliki hubungan dengan setiap ketetapan antara fakta hukum dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Jika dilihat dari latarbelakang lahirnya, KY memang lahir dari rahim amanah reformasi yang merupakan buah mimpi keberhasilan akan diwujudkannya cita-cita dasar negara hukum dan demokratisasi, yang di dalamnya nanti masyarakat bisa secara langsung berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk pula adalah dapat mengakses keadilan yang sudah negara jamin. Eksistensi dan fungsi KY mengantongi peran penting dalam upaya untuk mewujudkan integritas hukum melalui lembaga peradilan. Namun, lagi-lagi kehadirannya hingga hari ini tidak cukup untuk menanggulangi maraknya mafia peradilan di Indonesia yang bisa hidup dan menghirup udara melalui celah rongga pernafasan yang dibuatnya sendiri.  Sesempit apapun rongga tersebut, intinya mereka masih selamat dan terus-menerus berekspansi.

Baca Juga :  HABIB HUSAIN JA’FAR AL-HADAR; Neraka Dibuat Atas Nama Cinta

Lahirnya Formalisasi “Negara Bebas KKN”

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme alias KKN ini, merupakan Istilah khusus yang lahir di akhir Orde Baru dan populer hingga tahun 1997 tetapi belum masuk pada istilah hukum yang formal.  Namun, melalui TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, tertanggal 13 Novemper 1998 tentang “Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”, isitlah KKN ini resmi menjadi salah satu produk hukum lembaga tertinggi negara, dan lebih familiar sebagai istilah hukum.

Berlanjut pada masa transisi pemerintahan negara yang dinahkodai oleh Presiden BJ Habibie, istilah KKN ini bertransformasi menjadi istilah hukum yang diundangkan. Terbukti jelas sejak disahkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang “Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”.  Uraian dari masing-masing istilah cukup lugas dipaparkan melalui Pasal 1 UU tersebut: Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pidana korupsi (baca UU TIPIKOR). Kolusi  adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.  Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelengggaraan Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Berbagai macam produk hukum, institusi hukum, dan segala respon (upaya) negara dalam menjawab persoalan tentang keadilan (dalam lingkungan peradilan Indonesia) sudah dikerahkan selama ini. Penentu terakhir  implikasi nilai-nilai keadilan hukum di Indonesia sebenarnya cukup pada perananan hakim sebagai puncak (penentu) penegakan hukum, yang dalam hal ini disematkan padanya kata “Yang Mulia” (The Honorable Justice).

Sampai di sini, apapun keputusan hakim PTN DKI Jakarta nantinya, terlepas dari pro-kontra tentang “hukuman mati”, kehormatan dan kemuliaan hakim akan dipertaruhkan.  Sebagaimana kehormatan dan keluruhan martabat sosok penegeak hukum lainnya yang berdiri di atas harkat kemanuasiaan serta cermin keadilan “negara hukum”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *