AGITASI.ID – Unggahan story Whatsapp Guru Besar kampus Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, ramai dibicarakan. Story WA sang profesor menjadi topik obrolan ashabul kopian. Pasalnya, seorang Profesor mempublish story yang tidak biasa. Begini caption story yang diunggahan “Sebagai pemimpin publik, harus hati-hati bicara apalagi soal keimanan”. Postingan tersebut dilengkapi dengan gambar berita yang merilis sambutan Prof. Hepni.
Mula-mula dengan storynya, Prof. M Noor Harisuddin merespon pelantikan kabinet kampus UIN KHAS. Belio menganggap sambutan Prof. Hepni selaku Rektor kurang bijaksana. Sehingga belio memperingati Rektor sebagai pemimpin publik harus hati-hati. Apalagi menyangkut konteks keimanan, harus hati-hati, kalau tidak bisa murtad. Sungguh baik sekali, belio berusaha menasehati Rektor baru itu. Namun nasehat tersebut dipublish melalui whatsapp story.
Penulis mau menganalisis sedikit serius story whatsapp sang guru besar. Ingat sedikit. Bagaimana statemen yang datang dari tokoh publik, mencuat jadi wacana publik. Sebenarnya apa maksud dari story tersebut. Bagaimana konteks dan siapa pihak yang dirugikan. Untuk maksud itu, penulis akan menganalis menggunakan perangkat Critical Discourse Analysis (CDA).
Critical Discourse Analysis Norman Fairclough
Fairclough seorang profesor TOP di Universitas Lancaster. Tokoh yang disebut pemrakarsa analis wacana kritis, karena belio sendiri pendirinya. Bagi Fairclough wacana merupakan tindakan sosial dengan bentuk simbolis. Sebuah proses semiotik dalam merepresentasikan dunia sosial. Maksudnya interaksi sosial dengan pembicaraan, tulisan, gambar, dan lainnya merupakan wacana. Wacana difungsikan untuk mencapai tujuan sosial dan perubahan sosial.
Visi hadirnya CDA untuk membokar bentuk dominasi atas ketidakadilan. Fairclough menggunakannya untuk menganalisa kesenjangan dalam masyarakat, deskriminasi dan ketidakadilan. Di sisi lain, menganalisa hubungan semiosis dan unsur sosial. Artinya proses semiotis dalam (menentukan, mengubah, atau memprosuksi) hubungan kekuasaan.
Bagi Fairclough, dalam sebuah wacana ada stuktur. Struktur yang dimaksud sekurang-kuranya; subjek, objek, konteks. Dalam setiap wacana pasti ada pihak yang terdeskriminasi dan dirugikan. Lantas, siapa pihak yang terdeskriminasi dan dirugikan atas story whatsapp sang guru besar?
Konteks Deskriminasi Wacana Sang Guru Besar
Penulis kali ini akan memposisikan story whatsapp sebagai wacana. Barang pasti menggunakan stuktur wacana Fairclough. Artinya penulis akan menganalisis subjek, objek, dan konteks dari story tersebut.
Pertama, subjek dari story whatsapp tersebut tentu sang guru besar. Siapa belio? Mungkin sebagian pembaca belum mengenal profilnya. Prof. Dr. M Noor Harisuddin merupakan Dekan Fakultas Syariah UIN KHAS Jember periode sebelumnya. Sebelum menjabat Dekan, belio menjabat Kaprodi Hukum Tata Negara. Sungguh loncatan jabatan yang gemilang. Namun belio sekarang hanya bisa disebut sebagai mantan Dekan. Tidak lebih. Sebab sekarang, pada kepemimpinan Rektor baru, belio tidak menjabat apa-apa. Tidak sama sekali.
Kedua, objek dari story whatsapp tidak lain adalah Prof Hepni, si Rektor baru. Pada kepemimpinan Rektor Babun yang Suharto, belio merupakan Wakil Rektor III. Berkat kinerjanya yang gemilang, belio sekarang diangkat menjadi Rektor. Sebagai Rektor, belio memformatur dan melantik susunan kabinet kepemimpinannya.
Tepat pada 10 November, ketika prosesi pelantikan Pak Rektor berucap begini “bahwa ketidakpatuhan terhadap rektor adalah tindakan pelanggaran keimananan. Barang siapa yang beriman kepada selain Rektor maka dia musyrik, dan do’anya tidak akan terkabulkan”. Namun, ucapan Rektor yang dimaksudkan untuk mengompakkan dan menyolidkan kabinetnya, mengandung satire dan multi tafsir. Pejabat yang tidak patuh pada Rektor, maka musyrik (menyekutukan) terhadap kepemimpinan Rektor. Pak Rektor berucap dengan satire sambil berkelakar.
Ketiga, konteks dari story whatsapp si mantan Dekan berhubungan peristiwa yang terjadi di kampus UIN KHAS. Konteks dalam wacana berupa sesuatu diluar teks. Konteks bisa berupa situasi ketika teks dipublish. Situasi apa yang terjadi saat sang guru besar mempublish story? Nah betul. Situasi pelantikan kabinet kampus UIN KHAS Jember. Lantas apa hubungan situasi tersebut dengan subjek? Hingga belio nyetori demikian. Kalau dihubung-kaitkan, apakah wacana tersebut berhubungan dengan belio yang tidak lagi menjabat? Karena tidak mungkin story seorang guru besar hanya untuk menasehati Rektor. Silahkan dijawab sendiri.
Lagi-lagi gagasan Fairclough akan penulis kutip. Tiap wacana bisa menentukan, mengubah, atau memprosuksi kekuasan. Wacana dari story tersebut sedikit banyak mempengaruhi kekuasan Prof Hepni sebagai Rektor. Saat story dipublish menjadi wacana dan viral, pasti Pak Rektor ketar-ketir. Benar kan pak Rektor! Belum lagi ada pihak yang mempersoalkan susunan kabinet. Tapi ini bukan bahasan penulis.
Terakhir, penulis akan menganalisis pihak yang dirugikan atas story whatsapp tersebut. Arena atau wahana yang mau direpresentasikan oleh story tersebut adalah situasi pelantikan. Tentu pihak yang dideskriminasi oleh story tersebut adalah semua pejabat yang dilantik Rektor. Baik Wakil Rektor, direktur Pascasarjana, Ketua LP2M, hingga semua Dekan. Semua pejabat harusnya tersinggung dong. Lebih-lebih Rektor yang secara khusus menjadi objek wacana tersebut. Story itu ditujukan ditujukan pada Pak Rektor. Selebihnya, pembaca bebas menganalisis dan mencari jawaban atas wacana sang guru besar.