Agitasi.id – Saya terpingkal-pingkal mendengar berita ada adik tingkat ‘diculik-diinterfensi-diintimidasi’ tuhan!!! ups salah, Generasi Tua maksut ku, hehehehe. Kok bisa? Di zaman sebebas begini, kok masih ada orang mengaku sebagai Penjaga Moral adik tingkat? Heran, kenapa sih generasi tua sok jadi anjing penjaga yang selalu menekan generasi penerus untuk tak mengganggu kepentingan penguasa? Dibayar berapa? Dapat timbal balik apa? Sangat menggelikan ketika generasi tua malah jadi racun yang mencemari idealisme pemuda.
Kalau generasi tua tak bisa jadi contoh, minimal jangan menghalangi pergerakan adik tingkat. Kalau generasi tua tak lagi punya taring kritis, lebih baik diam, minggir!!! Biarkan darah muda maju menyuarakan koreksi. Daun tua yang tak lagi mampu tumbuh, hanya menunggu waktu untuk mengering dan jatuh. Kalau macan ompong jadi penghalang bagi lahirnya gagasan baru, lebih baik dilawan. Parasit semacam itu harus disingkirkan. Jangan didengarkan gonggongannya!
Di kampus ku tercinta UIN KHAS Jember mentang-mentang elit-elit kampus di dominasi generasi tua dari salah satu organisasi ekstra kampus, adik tingkat ditekan untuk tidak demo kebijakan kampus yang sewena-wena, dll. Generasi tua yang mengklaim punya hubungan historis dan aspiratif dengan anggota/kader dari lembagnya masing-masing, nyatanya masuk terlalu dalam mengatur segala kehidupan adik tingkat. Mulai dari sempak, pulpen, sekretariat, isi perut, hingga isi pikiran pun dimasuki. Itu hantu atau alumni? Adik tingkat mengkritik saja direpresi, bagaimana pemuda bisa dewasa kalau terus-terusan dikekang?
Mental adik tingkat, karena sudah beda kepentingan, tentu saja berbeda. Adik tingkat menjunjung tinggi kebenaran dalam pikiran, generasi tua mengutamakan kepentingan perut dan kemapanan kerja. Dua kecenderungan ini selalu bertolak belakang. Sebab tak semua kritik menguntungkan struktur mapan. Sedang sesuatu tak bisa dikatakan benar sempurna sebelum dikuliti dengan koreksi. Saya lebih setuju adik tingkat putus hubungan dengan generasi tua !
Apa guna generasi tua untuk adik tingkat ? Jadi agen tutup mulut Adik tingkat? Jadi mata-mata raktorat ? Jadi tukang lobi birokrasi? Jadi tukang palu untuk menenggelamkan kritik yang dilontarkan adik-adik? Ah, rasa-rasanya kita lebih merdeka kalau jauh dari tuhan-tuhan ! Eh generasi tua kampus maksutku. Gara-gara modelan generasi tua seperti itu membuat pengurus Organisasi Mahasiswa seperti kerbau tercokok moncongnya!
Sebagai organisasi mahasiswa, jebolan organisasi ekstra kampus memang banyak sekali berkiprah di berbagai bidang. Jadi rektor, bupati, DPR, kepala dinas, gubernur, menteri, juga komisaris BUMN. Tapi gara-gara mental pengemis, adik tingkat akhirnya banyak menggantungkan karir dari jaringan koncoisme. Politik patronase begini yang akhirnya melemahkan pergerakan dan menyuburkan nepotisme. Dan mau sampai kapan terus begini?
Banyak mahasiswa menjadi keset Birokrasi, karena generasi tua panutan kebetulan jadi kacung Birokrasi. Lalu, mahasiswa sejati harus berdiri di kubu mana? Bagi yang bermental Badut Aktivis, tentu condong pada tuhannya berpatron kemana. Kalau tuhannya antek-antek birokradi, tentu akan pilih menjadi keset birokrasi.
Politik patronase menjijikkan itulah yang membuat citra mahasiswa jadi busuk. Di forum adik tingkat diajari tentang Idealisme, tapi di lapangan semua tak terpakai. Materi dan pedoman organisasi hanya jadi sampah. Pemateri hanya jadi pelacur yang bermanis-manis lidah di depan mimbar, tapi tak pernah berniat mewujudkan dengung kebenaran yang diucapkan. Saya yakin 100 persen, tuhan-tuhan elit tak pernah peduli NKRI ini jadi negara demokrasi atau tirani. Karena ia bisa hidup di kedua habitat itu.
Kalau saja generasi tua tak masuk terlalu jauh ke urusan adik tingkat, saya tak tertarik bahas hal tersebut. Tapi karena generasi tua menjajah rumah tangga adik tingkat, harus ada perlawanan yang keras demi menyelamatkan independensi pemuda. Tugas aktivis, akademisi, kaum intelektual atau apalah sebutan lainnya itu untuk senantiasa membersihkan dirinya dari subjektivitas. Bukan karena mulut generasi tua, bukan karena kemauan kawan-kawan, tapi pada kebenaran lah kita menentukan sikap dan pilihan. Mahasiswa tidak boleh jadi seperti Generasi tua penjilat birokasi, yang selalu berpihak pada apapun yang dilakukan Rezim. Dukung kalau benar, tolak kalau salah.
Fakta membuktikan, generasi tua memiliki banyak sumber daya untuk ditawarkan. Uang, jejaring, peluang, akses, informasi. Hanya adik tingkat yang tegas berkata ‘’Tidak’’ pada godaan generasi tua, yang mampu mempertahankan martabat mahasiswa. Bagi yang hanya mengembik laksana kambing congek, pasti menggadaikan statusnya sebagai kaum intelektual /akademisi untuk ditukar dengan jadi ‘Hamba Setia Generasi Tua’. Adik tingkat dan generasi tua bukan hubungan suami istri. Jangan terperdaya rayuannya!
Yang kita bela bukan generasi tua , bukan pula titpan generasi tua, tapi kepentingan Mahasiswa. Kalau satu-satunya cara agar idealisme adik tingkat tak tercemar dengan menjauhi elit-elit generasi tua, maka itu harus dipilih. Biarkan generasi tua bermain di dunianya yang penuh pragmatisme rendahan, adik tingkat memiliki ladang perjuangan sendiri.
Ke depan, tak perlu lagi ada adik tingkat “diculik- intervensi- intimidasi” elit-elit generasi tua hanya karena mendemo Rektorat, dll. Represi dan ketengikan semacam itu tak layak terjadi di Tanah Demokrasi. Melontarkan kritik dan mengeluarkan gagasan adalah harga mati bagi warga bangsa demokratis. Generasi anjing penjaga, sudah waktunya dimusnahkan dari bumi pertiwi. Silakan cari makan, tapi jangan kekang pikiran kritis mahasiswa. Generasi tua dilarang cawe-cawe ke dalam urusan adik tingkat!
Silakan jadi tangan kanan Rektorat, tapi sikap kritis sepenuhnya milik mahasiswa. Silakan jadi antek-antek rektor, tapi jangan merasa jadi Penjaga Moral tatkala adik tingkat menghujani rektor rakus dengan kritik. Silakan jadi makelar pergerakan, tapi kami tak butuh boneka yang terkekang. Perubahan adalah anak kandung kritik. Dan tanpa kritik, kebenaran hanya kepalsuan yang menunggu dibuang ke tempat sampah!
Kalau kritik yang dilontarkan merusak nama baik generasi tua yang sedang menjabat, bisa jadi itu bukan ‘merusak nama baik’, tapi memang namanya sudah busuk. Karena sebab dikuliti kritik itulah, borok yang sebelumnya mati-matian ditutupi, jadi terbuka menganga. Elektabilitas generasi tua, sama sekali bukan urusan adik tingkat. Terpilih lagi atau tidak dia sebagai Rektor, Dekan, dan segenap jajaran Rektorat itu bukan urusan adik tingkat!