3 Aturan Tak Tertulis Saat Nongkrong di Coffee Shop yang Terpaksa Harus Saya Tulis

AGITASI.IDSetiap ruang sosial yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari tentunya memiliki aturan yang berkaitan dengan etik atau moralitas tertentu. Entah saat bertamasya ke suatu tempat, healing ke alam bebas, atau sekedar berak di toilet umum. Termasuk saat nongkrong dan bersantai di coffe shop. Memang nampak sepele, namun beberapa aturan ini harus diperhatikan secara seksama.

Saya maklumi, meskipun masih banyak orang yang ngawur saat berkunjung di coffe shop, karena memang tak semua orang paham soal selera warung kopi berlkelas yang lumayan ketat soal gaya hidup dan serba artistik ini.

Lagi-lagi saya maklumi, mungkin saja perlakuan mereka yang menyimpang itu bias dari kebiasaan lama nongkrong di warung kopi konvensional; yang penuh kebebasan dan gelagat sembrono lainnya. Toh bagaimanaupun aturan yang mereka langgar itu hampir tak tertulis pada kebanyakan coffe shop yang bertengger. Maka dari itu, terpaksa saya tuliskan setidaknya 3 (tiga) aturan saat nongkrong di coffe shop.

#1 Pesan sesuai durasi nongkrong dan/atau jangan pesan yang tidak ada di menu

Sebagai pengetahuan umum, coffe shop sudah ada sejak tahun 1475 Masehi di Konstantinopel, Turki. Tahun-tahun setelahnya meluas ke daerah sekitar hingga ke pelataran Eropa. Terlebih saat Kolschitzhy mulai mengenalkan racikap kopinya yang dicampur dengan susu dan gula. Di Indonesia sendiri, coffe shop awalnya hanya menyuguhkan adukan kopi tradisional. Kopi pekat dengan campuran susu kental manis atau campuran telur menjadi menu andalan kala itu. Namun saat Starbuck hadir di Indoensia sebagai ritel coffe shop pertama yang buka lapak, ia memberi standar menu dan sajian kopi yang variartif. Maka tidak heran, jika dominasi menu pada coffe shop adalah olahan “kopi” itu sendiri.

Kembali pada mereka yang sering menyimpang itu, seringkali saat berkunjung ke coffe shop tak jarang saya temui mereke memesan apa yang tidak tercantum pada menu. Tidak paham apa motifnya, namun hal demikian tak dapat dibenarkan, apalagi dibela.

Baca Juga :  Indonesia Emas 2045 Bakal Kesampaian Kok, Kalau Pemimpinnya Penuhi Syarat Berikut

“Mas, bisa buatkan Joshua nggak?”

“Mas, bisa pesen mie sama nasi nggak?”

“Mas, ada kopi jamu kuat nggak?”

Itulah beberapa contoh kalimat yang sering muncul dari mulut mereka, masih mau dimaklumi?

Tak hanya itu, sering juga saya temui mereka yang hanya memesan makanan atau minuman namun tak seimbang dengan durasi nongkrongnya. Kebanyakan dari mereka menikmati satu cangkir kopi atau camilan (yang paling murah), namun durasi nongkrongnya baru usai hingga larut malam, bahkan hingga coffe shop tersebut hampir tutup. Bungkusnya macam-macam pula; sedang mengerjakan tugas, kerja, dan apalah itu yang penting bersembunyi dibalik laptopnya yang terhubung dengan wifi gratis. Merekalah penikmat fasilitas tanpa batas, jangan terusan dimaklumi ya sob!

#2 Pesanlah sesuai jumlah orang dan/atau jangan memonopoli kursi

Rancangan tata ruang coffe shop kebanyakan memiliki desain visual yang nampak berbeda dengan warung kopi konvensional. Infrastruktur yang disediakan cenderung bernuansa modern dan artistik. Seni arsitektur yang dimainkan pun berhasil menarik perhatian para pengunjung, maka tidak heran jika coffe shop menjadi salah satu pilihan favorit spot foto yang instagramable.

Di satu sisi, tatanan ideal coffe shop tersebut banyak terganggu keindahannya karena lagi-lagi ulah para penyimpang yang sering saya jumpai. Mereka yang kadang datang rame-rame, hanya pesan 1/3 dari jumlah orang yang datang.

“Pesan dua saja mas”, ungkap perwakilan dari rombongan mereka yang sedang berlima, berenam, hingga bersepuluh itu.

Sekilas fenomena tersebut memang tak mengundang konflik, namun pada dasarnya mereka mendeskriminasi pengunjung lain yang sedang bersantai. Apalagi ditambah mereka yang berisik saat nongkrong.

Selain itu, mereka juga kerap kali memonopoli kursi. Tidak jarang mereka yang hanya datang berempat, memilih pasangan meja dan kursi lebih dari jumlah orang yang datang. Belum lagi kadang memindahkan dan mengotak-atik kursi seenak pusarnya.

Baca Juga :  " STOP SAYING GAPAPA "

Monopoli kursi serupa juga kadang terjadi dengan varian berbeda. Beberapa kursi mereka monopoli sebagai tempat untuk menaruh tas, laptop, jaket, dan barang bawaan lainnya. Laku ini jelas mendisfungsikan kursi yang seharusnya sebagai tempat duduk.

#3 Jangan berpenampilan aneh yang menyorot perhatian            

Sudah bukan rahasia umum, jika coffe shop memiliki budaya yang berbeda dengan warkop biasa, ia cenderung tampil ala the leisure class alias kelas mewah.

Diakui atau tidak, westernisasi atau budaya kulon ini menjadi referensi utama penampilan coffe shop. Namun hal tersebut bukanlah persoalan yang diperdebatkan lagi di era globalisasi ini. Modernisasi warung kopi adalah bagian dari perubahan peradaban itu sendiri. Justru yang bermasalah adalah mereka yang tidak toleran dengan budaya demikian, paling minimal adalah soal penampilan.

Para pengunjung langganan coffe shop mayoritas memahami budaya dan cara berpenampilan yang sudah menjadi standarnya. Bahwa ada pereferensi bagi para konsumen yang sedang hang out untuk berpenampilan casual.

Beberapa penelitian pun menyebutkan bahwa fungsi coffe shop hari ini tidakhanya sekedar tempat minum kopi, lebih dari itu coffe shop memberikan suasana “fresh and pleasure”. Ruang bersih, tenang, terang, dan para konsumen yang enjoy dengan suasana damai adalah ciri khas warung kopi modern ini.

Namun sekali lagi suasana tentram tersebut seringkali terganggu oleh para penyimpang yang berpenampilan aneh. Bukan bermaksud untuk mengkritik kebabasan cara berpenampilan mereka, namun mbok ya tahu diri dimana anda sedang berkunjung. Penampilan aneh yang saya maksud adalah penampilan yang kontras dengan suasana coffe shop itu sendiri. Tampil casual atau minimal rapi saja sudah sesuai dengan norma coffe shop.

Itulah beberapa aturan saat nongkrong di coffe shop yang terpaksa saya tulis, agar kenyaman para pengunjung yang sedang hang out tidak terganggu, terlebih ciri estetka coffe shop tetap lestari sebagai bagian dari modernitas. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *